Friday, March 23, 2007

Objektivasi Diri Dalam Ilusi Part 4

Siapa yang bersanding rapat denganku malam itu?. Duduk di jok tengah sebuah mobil yang melaju. aku berada di tengah. Sosok yang kukenal di sebelah kiriku, dan sosokmu di sebelah kananku. Berkali-kali kau bisikkan kata-kata begitu dekat di pipiku. Dingin ludahmu menempel tak pernah kulupa. Aku juga tak mau kalah. Ku beri tanda di pipimu dengan jelas bahwa aku telah menemukan wujudku sendiri. Kau sebuah sosok tanpa nama. Tapi wujudmu terlihat jelas di otak ini. Masih melaju dalam gelap kita yang sedang duduk bersandingan. Gemerlap cahaya lampu jakarta yang kita lalui menambah hangat malam itu. Antara aku dan kau. Ini sajak yang kurangkai untuk dirimu yang ke empat yang tak pernah bisa kusentuh. Aku tak pernah berharap ini berakhir. Aku juga tak pernah tahu kapan ini akan berakhir. Mungkinkah ini berlangsung selamanya?. Jikalau memang harus begitu aku kan menikmatinya sampai ajal membawa tubuh rongsok ini ke liang kubur. Tapi ruh ku kan merindukan wujudmu selalu.
Nyatalah!
Nyatalah dalam pikiranku!
Nyatalah dalam hidupku!
Nyatalah dalam duniaku!
Nyatalah api kehidupanku!
Nyatalah engkau setetes embun di tengah kerontang sahara!
Basahi kerongkonganku yang tersedak!
Dalam panasnya cahaya matahari yang menyinari bumi, aku berharap malam menjemputku dengan siraman sinar rembulan
Engkau bintang yang tertutup tebalnya awan
Engkau matahari yang di tikam gerhana
Rintik hujan sesaat di musim kemarau akan lebih baik daripada hujan deras di musim penghujan
Mengapa tiada berkenan dirimu tuk menemuiku di kehidupan?
Aku sekarat di lilit akar bumi yang menghantui
Beri aku penawar racun!
Aku sekarat!
Beri aku penawarnya sekarang juga!
Aku sekarat!
Engkaulah sang pemilik penawar itu
Dirimulah penawar racunku yang mengoyak jiwaku
Aku yang meracuni diri pun berharap dapat terus hidup bersama dirimu
Sebutir racun yang ku telan cukup untuk membunuh sejuta bala tentara Abrahah
Namun hanya ku simpan untuk diriku sendiri
Ku seduh hanya untuk diriku sendiri
Kuminum di kala sore hari dan rintik hujan turun ke bumi sambil duduk di dekat jendela
mendengarkan kicau burung-burung kecil yang terbang kesana kemari
Bersama dirimu di hadapanku yang tersenyum manis
Yang siap melihat kematian mendatangiku
Saat ku tercekik di hirupan pertama
Memegang kencang kedua leherku sendiri
Mulutku yang mengeluarkan busa
Mataku yang membelalak
Kemudian aku terjatuh dari kursi
Aku berlutut sejenak di hadapanmu
Lalu aku terbaring di hadapanmu seketika
Setelah itu kau akan membangunkanku dengan lembut
Dengan suara putihmu
Suara yang bernyanyi merdu di telingaku
Mengiringi pergi ku
Engkau si penawar racun
Yang ku nanti dalam dudukku selalu
Datanglah di saat malam
Dan jangan pergi di saat fajar
Aku tak kuasa menahan rinduku
Mari kita berjumpa

Wednesday, March 21, 2007

Nama

Namamu yang ku pekikkan di tiap malam
Bersama gumpalan jantungku yang hendak melompat keluar
Dan aliran darah di seluruh penjuru tubuh yang hendak meledak
Dengan suara lantang tanpa suara
Namamu
Untuk saat ini
Hanya namamu seorang...

Sunday, March 11, 2007

Sirkus Kota

Kami berjalan telanjang di sepanjang jalan ini
Tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami
Semua mata menatap ke arah kami
Melihat ke arah kemaluan kami yang hanya di tutupi dengan kedua tangan kosong masing-masing
Angin begitu kencang
Debu beterbangan
Terkadang kami harus mengusap mata dengan sebelah tangan
Sedang yang sebelahnya lagi tetap berusaha menutupi kehormatan kami
Kami tak sanggup menatap ke depan lagi
Pandangan ini semakin kabur
Debu-debu yang melekat di mata kami semakin banyak
Kami hanya bisa menatap dan meludah antar sesama
Di selimuti riuh sorak sorai penonton yang melihat kami
Semua telinga ingin mendengar apa yang kami tengah lakukan
Polah lucu apa lagi kiranya yang akan kami perbuat
Kami tak dapat menemukan sepotong atau dua potong kain untuk membalut tubuh
Kami hanya bisa berjalan berpelukan saling menempel erat agar mereka tak dapat melihat kemaluan kami
Lidah-lidah kami begitu panjang sehingga sulit untuk berbicara
melingkar di leher masing-masing hingga mencekik kencang-kencang
Mata kami saling bertolak tatap
Seumur hidup, kami terus berjalan telanjang
Anehnya kami tidak lagi merasa malu
Persetan dengan mereka yang berpakaian
Bahkan makhluk-makhluk di bumi ini pun sebagian besar telanjang
Kemaluan ini bukan lagi sesuatu yang tabu
Biarkan mereka melihat apa-apa yang ada di tubuh ini
Toh mereka juga mendapati dirinya sebenarnya di balik ketat balutan kain di tubuh mereka
Hanya selapis kain yang membedakannya
Matahari dengan sinarnya yang terik membuat kami berjalan merayap
Bulan dengan sinarnya yang lembut membuat kami terlelap
Beristirahat malam ini
Belum tentu esok kami bisa tidur pulas lagi seperti ini
Karena lidah-lidah yang melilit di leher kami semakin panjang
Dan mata-mata yang membelalak di antara kami semakin kentara
Lalu di tangan masing-masing ada belati yang tersembunyi

Saturday, March 10, 2007

Purnama Sembunyi Tanpa Gemintang

Langit sore ini bagai rona mawar merah yang merekah
Aku mengatakannya pada malam pekat tanpa bulan
Bintang-bintang mungil yang tak terlihat lagi dengan kasat mata
Aku merangkainya hanya untuk dirimu yang mengintip jendela kamarku
Satu rupa rembulan tanpa gemintang yang menghiasinya
Begitulah aku memanggilmu
Di tengah padang rumput yang luas ini
Tentunya dengan semilir angin yang bertiup membuat suasana makin romantis
Rindu akan sosok tanpa aroma bunga yang melintas
Seandainya kau dapat memahaminya
Seandainya saja...

X

Suatu X pernah mencoba hidup berdampingan dengan kawan sesukunya. Untuk apa dia hidup, dia tidak pernah mengetahuinya. Yang ia tahu, hanyalah terbangun di suatu tempat. Yaitu tempat ini. Dan ia harus senantiasa siap untuk di gunakan. Dirasanya hidup berdampingan dengan sesamanya tiada nyaman. Rikuh. Tak pernah cocok bila di sandingkan dengan siapa pun. Ia tak pernah terbaca di negeri ini. Tiada yang pasti menyebut namanya. Membuatnya menjadi ragu akan keeksisan dirinya. Ia sesungguhnya tidak berbunyi. Tidak mendesis sedikit pun. Lalu untuk apa ia hidup di negeri ini?. Bukanlah suatu kesalahan apabila ingin melenyapkannya. Karena sesungguhnya ia adalah tiada. Tak pernah di lahirkan. Apalagi di ciptakan. Ia pun sebenarnya sadar. Dan harus segera memutuskan apa yang akan di lakukannya. Lalu ia berdiri di suatu tempat yang lain. Berdiri sendiri di tempat yang berbeda. Menjadi X yang sendiri. Bukan X yang hidup bersama. X memang harus sendiri.