Saturday, December 30, 2006

Bermain Seharian

Masih terlalu pagi untuk bergunjing. Lebih baik sarapan pagi bersama.
Ah...tapi sudah sore dan tinggiku pun hanya 1,5 cm saja.
Lalu matahari terbelah menjadi dua dan aku masih berjalan ke belakang. Lalu orang-orang tadi menahan punggungku, memelukku erat. Aku merasa sesak. Mereka melepaskannya.
Aku berjalan di bawah langit yang luas, tenggelam dalam alang-alang selutut. Melihat pesawat terbang melayang tanpa mesin. Aku masih bingung dengan orang-orang yang kutemui tadi. Siapa mereka? atau harusnya mereka yang berkata begitu padaku.
Aku ke sudut.
Menaiki menara dengan tangga, berdiri di atapnya. Ingin melompat ke seberang tapi jaraknya terlalu jauh. Aku takut jatuh. Pasti sakit sekali kalau jatuh dari sini. Aku pun turun lagi.
Sekarang aku teriak.
Mama, aku pulang!

Monday, December 25, 2006

Terbunuh Sempurna

Kesempurnaan adalah setetes zat kimia keras yang bereaksi ketika bercampur dengan darahmu yang mengalir. Membuat aliran darahmu berhenti seketika menjadi beku. Lalu terdengar gemeretak balok-balok es di barengi keluarnya asap hijau dari dalamnya. Lendir panas meleleh melumuri sekujur organ dalam tubuhmu. Tak lama kemudian ia menembus keluar melalui rongga-rongga kulitmu. Kulitmu rusak. Kulitmu lumer. Bau busuk menusuk. Hanya dalam 1 menit tubuhmu tinggal kerangka. Kau pun mati tanpa di kenal dan tanpa bisa mengenali dirimu lagi.

Perlu kau ketahui, ia merupakan sebuah batas yang tak berbatas. Ia tak mengenal kata akhir. Tak mengenal kata cukup. Tak mengenal rasa kenyang. Ia selalu lapar dan haus. Ia belum puas kalau belum menggerogoti sekujur tubuhmu hingga habis. Ia adalah penjara. Ia adalah zat kimia yang siap membuat seseorang tak mengenali dirinya lagi. Tanpa kau ketahui sebenarnya. Ia adalah sebuah batas.

Sempurna dan aturan. Keduanya bagai sendok dan garpu. Tiada guna kecuali tuk mengais makanan dan minuman. Dengan keduanya kau menjadi terhormat. Kau menjadi berbeda dari kita semua. Kau menjadi dirimu yang baru. Seorang bangsawan. Seorang tuan tanah. Seorang konglomerat. Yang tak pernah merasa puas lalu menghisap. Tapi dengan keduanya kau menghisap dirimu sendiri. Kau pun lupa. Keduanya juga adalah batas.

Sempurna berarti aturan. Aturan berarti racun. Kau tak kan pernah bisa lepas dari keduanya. Menjadi sempurna adalah siksaan. Tanpa kau sadari, kini keduanya tengah mencengkeram kedua tanganmu. Menjilati setiap butir keringatmu. Mengunyah setiap ototmu yang meregang. Mengoyak otakmu. Dan terus meniupkan toksin ke jantung kecilmu. Kasihan dirimu yang diperkosa. Kau inginkan orgasme tapi ia tak pernah berikan padamu sebuah kepuasan tertinggi yang benar-benar puas layaknya orang yang melakukan hubungan seks. Dirimu terlontar ke ruang angkasa. Jauh sekali hingga tak nampak lagi.

Siapa yang tak tersiksa melihat kenyataan ini?. Mengapa kau masih menginginkannya juga?. Kenapa tak segera kau galakkan kekuatan tuk membunuh keduanya?. Sebelum dirimu tewas di terjang olehnya. Lekas. Keluarkan pedangmu. Tebas kedua batang lehernya. Potong masing-masing menjadi ratusan bagian. Lalu kuburkan tiap kepingannya di tempat-tempat yang berbeda. Jangan lupa siramkan minyak dan tebarkan tumpukan jerami di atasnya. Bakar hingga tak bersisa. Jangan sampai kau melihatnya lagi. Apalagi kau temui.

Friday, December 22, 2006

Matahari di Persimpangan

Orang-orang yang berada di simpang kiri itu berteriak, "Zaman telah berganti!".

Mereka yang berada di seberangnya membalas, "Kami tak peduli! Matahari tetaplah terbit di Timur! Pagi masih belum berganti menjadi malam! Alam masih berfotosintesis".

"Tapi akhirnya ia tenggelam juga di Barat!. Dan pagi pun berganti menjadi malam! Alam pun berespirasi!"

Seakan tak mau kalah, mereka yang di seberang menimpali, "Tapi ia pun tak pernah terbit dari Barat dan tenggelam di Timur! Malam pun akhirnya mengantuk dan terlelap! Alam pun tak selamanya beracun!".

Dengan bersemangat mereka yang di simpang kiri menjawab, "Tidakkah kalian lihat? Kini ia telah terbit di Barat dan tidak lagi di Timur! Malam tidak lagi tertidur! Alam pun kembali berespirasi!".

"Berarti ajalmu, ajalku, dan ajal dunia ini telah dekat, saudaraku!" Teriak orang-orang di seberang itu.

Orang-orang mulai bertindak tidak wajar dan menimbulkan huru hara. Tiada komando yang absolut lagi di telinga mereka. Hanya kesamaran yang terdengar. Mereka terus berteriak dan berlarian tanpa arah. Gila. Mereka pun gila. Hina. Bersimbah lumpur. Nista. Dualisme sosok mereka pun muncul tiba-tiba. Belantara hidup telah menjadikan mereka berbagai ragam hewan pemangsa yang hidup berkelompok. Wahai, para makhluk persimpangan yang hidup. Kau pun termakan oleh hidup. Menjadi bangkai. Habis tiada tersisa. Di mana kau kini berjalan?. Jangan katakan di persimpangan.

Wednesday, December 20, 2006

Teruntuk Si Camar Hampa

Aku melihat jiwa tak bergerak. Jiwa tak bermahkota. Jiwa ranting kecil. Jiwa 0.001 Watt. Jiwa sehelai bulu.
Si Bulbul menggelepar dalam panggangan. Terbang tak bisa, mati pun tak kuasa. Ideologi di jual murah. Bahkan diskon seratus persen. Tidak perlu ditawar lagi.
Mungkin hasut mereka, "Relakanlah, maka kami pun menjadi sayapmu". Lalu kau pun terhisap ke dalamnya. Sebuah dimensi baru yang tampak indah dan bercahaya bagimu.
Sorga?
Waktu berjalan terbalik. Dari detik ke menit. Dari menit ke jam. Ketika kau masih berjalan di atas sehelai rambut. Dan aku pernah berteriak, "Awas angin!".
Kau pun berkata padaku kalau kau takut. Tapi aku tak pernah tahu kepada siapa kau menangis.
Kau tegar. Setegar benang basah yang ditegakkan.
Kau setia. Sesetia anjing pada tuannya.
Tapi aku melihat jaring laba-laba yang terangkai begitu rapi dan mempesona menjadikan itu sebagai jantungmu. Siapa sangka dirimu pun terangkai olehnya.
Detik pun menjadi tahun. Kau katakan pada semua kalau kini kau terlahir kembali. Mereka pun menyambutmu dengan tangan terbuka dan senyuman. Aku pun terpaksa ikut tersenyum nyinyir. Menyambut dirimu yang kini suci itu. Suci baru. Sucimu.
Aku melihatmu semakin redup. Lebih redup dari lampu 0.001 Watt. Lebih redup dari malam sedikit bulan. Lebih redup dari kebinasaan. Lebih redup dari jiwaku.
Makhluk menyedihkan. Terseret jerat tali hidup sampai tersesat begitu jauh dalam kehidupan. Aku pun begitu menyedihkan. Di jejali kata yang kau nafikan sendiri.
Engkau si Camar Hampa.
Gelak Tawa kosong selama ini hanya bayangan. Terhunus sosialisasi. Pelacur remuk dalam kelam malam.
Kala hilang sesaat dalam renggang waktu telah mengubah semuanya.
Kamu. Mungkin juga aku padamu.
Seperti kata mereka padamu, "Relakan saudara! relakanlah!"

Tuesday, December 19, 2006

Kucing dan Serantang Liur

Menjadi kucing
mengeong manja
berguling
menjilat tubuh
dengan serantang liur
yang harum
merangsang

Nafas memburu
mata membinal
deru desah perlahan
tubuh meliuk liar
semakin gila
tiada henti
tiada satu pun
nyawa menyaksikan

Telah basah
sekujur tubuh
oleh
serantang liur
yang harum
merangsang

Suatu kehormatan
bagiku
dan bagimu

Thursday, December 14, 2006

Sisi

Kau melihatnya dari kiri
kau melihatnya dari kanan
kau melihatnya dari depan
kau melihatnya dari belakang
kau melihatnya dari atas
kau melihatnya dari bawah
tapi tak pernah kau selami dirinya
celoteh sejuta kali tiada makna
renungkan saja atau
jadilah ia
sebelum meludah
padanya

Tuesday, December 12, 2006

Rupa

Aku Tole, lahir di lingkaran tak berjiwa. Sebuah lingkaran berkapabilitas melumat dunia namun
di naungi oleh kura-kura belian. Tapi biarlah, hampir 1/4 abad aku bernaung di dalamnya.
hampir segala macam bentuk rupa sudah kulihat, hanya satu yang belum sama sekali, yaitu rupaku sendiri.
Suatu saat aku berjalan ke luar untuk menatap para sosok melangkah.
Aku pernah mendengar, kini kami adalah sekumpulan camar hampa. Yang terbang ketika yang lain terbang,
dan berjalan ketika yang lain berjalan. Yang jelas, kami berimigrasi di tempat.
Kami sekumpulan makhluk tak beridentitas, biarpun kami masih memiliki nama yang kami anggap tak ketinggalan jaman.
Michael, Michellin, Kevin, Josephine, Jessica, George, Jasmine, Leonardo,Marylin...,...,....
panggillah kami.

Aku berpijak di luar pagar halaman yang kotor dan becek dengan hanya memakai sendal jepit. Apa boleh buat,aku hanyalah
aku yang memiliki mata ikan dikakiku. Aku mungkin hanya aku si pohon bambu yang bergoyang teguh mengikuti angin menghempas.
Aku Tole. Seonggok makhluk yang berumur hampir 1/4 abad yang terbengong melihat zaman yang berlari namun kitanya berjalan.
Aku mesti membersihkan kakiku yang belepotan lumpur dulu di keset yang telah disediakan bila ingin masuk ke halaman di depanku. Aku membuka pintu pagar dan masuk ke dalamnya. Tiba-tiba suasana menjadi redup, matahari sembunyi, dan banyak sorot lampu berkisaran kesana kemari, membuat kepalaku menjadi pening.Degup keras stereo seperti menghantam kepala dan dadaku. Neon-neon bercahaya seratus rupa membuat semakin kepayang.

Lalu aku menatap sejumlah sosok camar hampa tengah terbang bagai anai-anai berhamburan di langit. Aku terkesima, inilah abad. Sungguh luar biasa, tiada batas lagi antara atas dan bawah, tiada dinding pemisah seperti teori pada manuskrip-manuskrip kuno yang pernah kubaca. Semua begitu hidup. Berdiri di atas gemintang langit, lalu melayang, terkadang
bermanuver, terkadang menyeruak bagai elang. Lalu di depanku muncul gedung-gedung raksasa dari dalam tanah menjulang tinggi ke angkasa dengan berhias neon sejuta rupa. Abad benar telah berganti. Sorga itu nyata. Neraka itu tiada.
Aku melihat sekelompok camar betina berias tebal tak berkelopak. Aku melihat sekelompok camar jantan berparuh tebal dan bulu berwarna. Aku pun melihat sekelompok besar camar biasa-biasa saja tengah berpencar ke berbagai kelompok lain.
Tak sedikit pula mereka yang berkumpul dan membentuk barisan sendiri. Namun aku melihat satu keanehan. Bahasa mereka samar.
Iya betul. Terkadang samar.

Tak lama kemudian aku merasa janggal. ada yang salah, seharusnya tidak seperti ini. Aku termenung dalam dudukku di atas rumput yang hijau segar. Kejanggalan abad ini. Ya, semacam ada tsunami hebat yang telah menghempas mereka hingga terdampar kemari.
Bukankah kami telah berjalan mengikuti zaman? bukannya berlari?. Kepalaku digelayuti pikiran keras dibawah layang camar, hentak stereo,dan sorot lampu. Lalu aku berdiri, sambil menatap angkasa aku bergumam "mereka akan terus disitukah?".
Lalu aku keluar dari halaman berumput hijau itu melalui pagar yang kulalui tadi. Memijakkan kakiku di atas tanah becek dan kotor. Semakin aku menjauhi halaman itu. Semakin jauh. Jauh sekali. Dan Jauh.

Aku bergumam lagi dalam hati, bukannya aku tak ingin seperti anai-anai, aku hanya takut tak bisa kembali. Aku ya aku. Aku dan abad ini. Aku dan lahir ini. Aku dan Jiwa ini dalam lingkaran tak berjiwa. Aku ya aku. Pohon bambu ditengah badai. Aku Tole.

Monday, December 11, 2006

Tak Mati





Rundukmu dalam langkah
gempita api hampa
sungguh luar biasa...

Ngepet

Kwartet introvert menenggak anggur kepongahan di bawah rembulan kepepet
Saat itu juga duet kampret tengah menguntal pleret gunjingan
sambil menatap matahari mengintip
amis ludah kepet mereka berjatuhan ke sana kemari
bersorak dibelakang cempe-cempe yang berbaris 3
lalu menjilat kembali ludah di karpet
Saudara pertama adalah Bretbetbetbetbet
yang lainnya Pretepretepret
lalu datang solois monyet berbulu boneka
jadi kuintet mampet
Menggebrak simfoni lurus tak kelok
kuintet ternyata racun kwartet
Sang murid bersandar di pundak sang guru sembari mengurut dada
kayak monyet dan anak monyet yang baru ketahuan nyolong
saudara pertama bukan monyet, tapi kadal
murid seenak udelnya menarik jembut
kadal melet mau jilat itu rambut
cempe melongo musti narik jembut apa rambut
kuintet jadi kwartet
kwartet jadi duet
duet jadi solo
jadi semrawut...
gara-gara ketemu monyet di tengah jalan

Sunday, December 10, 2006

Negasi Alam dan 1000 Sahabat

1000 sahabat menjerit kesakitan
berlarian tak tentu arah
kemanakah si yatim hendak berlari?
kemanakah si piatu hendak sembunyi?

Alam pun telanjang
tiada lagi terdengar kicau burung seperti dulu
tiada lagi lolongan panjang serigala liar
tiada lagi langkah liar di sekitar
tiada lagi kesan angker tatkala malam tiba
tiada lagi canda riang penzikir tak berbahasa

Yang ada hanyalah kepulan asap
ranting-ranting hangus
dahan tak berdaun
tanah kering bersimbah abu dan darah
bangkai berserak di setiap jengkal
busuk dimana-mana

Si yatim menatap kosong
ayah ibunya mati terbantai

Si piatu meratap biru
adiknya hilang entah kemana

Susu...aku pingin minum susu...
begitu pinta salah seorang kecil dari mereka

Emak...bangun mak....aku laper mak...aku pingin makan, mak!
kata salah seorang yang tengah berusaha membangunkan ibunya yang terbujur kaku

Kemana lagi mereka kan kembali?
rumah tak lagi punya
orang tua pun mati
sanak saudara tlah hilang

Tuan yang hina,
ingatkah kau ketika disapih oleh ibumu?
Tuan yang hina,
ingatkah kau ketika duduk di pangkuan hangat ibumu?
Tuan yang hina,
ingatkah kau ketika diajari berjalan oleh ibumu?
Tuan yang hina,
ingatkah kau ketika menangis berlari ke pelukan ibumu?

Bila kau benar ingat,
maka ketahuilah,
mereka sama sepertimu
rindu kan kelembutan dan kenyalnya puting susu ibu
rindu kan belaian doanya membasuh kepala
rindu kan kecupan kering di pipi, dahi, dan hidung
rindu kan ketentraman dan rasa aman di bawah ketiak ibu
dan rindukan cahaya kehangatannya

Derai tawamu adalah derai air mata mereka
kau tidak berpikir mereka seperti pahlawan bukan?
yang mati satu tumbuh seribu
betul begitu?

Saudara...

Aku berpikir bahwa binatang lebih bernurani ketimbang manusia
dan manusia lebih bejat ketimbang binatang

Tak terkecuali diriku ini, kamu dan mereka yang memperkosa negeri ini

Kelebat Waktu Dulu

Berangkat dari kebencian, kekesalan, dan kemuakan yang berkisar di hati
menyaksikan satu makhluk bangkit sejenak dari proses pelepasan ruh
sebelum akhirnya terbujur kembali

Terlintas sekejap sebuah penyesalan yang tak berujung
yang pernah terucap di hadapan 40 nyawa tak bertuan
sebuah pernyataan jujur si dungu
yang akhirnya hanya menjadi buah bibir
dan penyedap rasa tawa saja

Memerahkan tangan dengan darah vampir-vampir kecil
bunuhi satu persatu
dadapun serasa lapang

Lagi-lagi gelombang elektronik itu...

menyayat kuping saja

Berkontemplasi sebagai formalitas pengakuan dari yang tercinta

Thursday, December 7, 2006

Lukisan

Aku melukis purnama di malam hari
bersama ribuan bintang bersujud kepadanya
indah tiada terkira...

Aku melukis purnama di malam hari
tak sampai tanganku menggapai
tak kuat kakiku berlari

Hanya untaian kata yang sayup redup sanggup
untaian kata sebagai rangkaian makna
dari kontemplasi 22 tahun

Haruskah dipendam dan dikubur hidup?
padahal dia kan berontak dari jiwamu jua
menembus kerongkongan
melewati lidah kelu mu

Berapa kilometer lagikah?
dirimu yang lain t'lah lelah menunggu

Siapa

Engkau si literalis bangsat
engkau sendirilah si LidaHati
tak kau sadari juga

aku sudah melihatnya

ilalang semua...

terhampar dari ujung ke ujung

cih

Hatchiman

Tuesday, December 5, 2006

Pilihan

Jika aku melakukannya maka hidupku sampai disini saja
Tetapi bila tidak aku masih punya jalan cerita

Kompas Tuan AruSama

Berada di utara 23
2 langkah ke timur laut 25
atau 3 langkah ke tenggara 20
di temaram senja

....................

bermacam manusia berjalan silih berganti
ada manusia berjalan miring ke depan 45 derajat
ada manusia berjalan tersungkur
ada pula manusia siap lepas landas yang tak tumbuh sayap

mereka semua bermain hidup
berlangkah kisah
bermandi jerat
bernafas bangkai

matanya sayu
mulutnya ternganga bau
peluhnya mengalir kering
tali kekangnya tertambat pada sebatang pohon

melepas lelah sejenak...

mereka adalah para atlit
yang hendak mencapai garis finish di utara
dengan derap kuda perang
lalu menghilang dalam kabut yang pucat

begitu cepat...

sejenak berhenti di sebuah telaga
kenyangkan dahaga seteguk dua teguk tiga teguk
lalu melesat
tampaknya ke utara lagi

begitu cepat...

kembali menghilang dalam kabut yang pucat...

manusia memang bertumpuk-tumpuk
baik waktu bangun
atau waktu tidur
mereka bertumpuk-tumpuk

karena itu kisah mereka selalu berujung sama
bergerak dengan tatih yang statis
berakhirpun begitu saja
yakni di utara


lalu yang manakah dirimu ?
apakah kau yang berjalan miring ke depan 45 derajat?
apakah kau yang berjalan tersungkur?
ataukah kau yang berjalan siap lepas landas?


mungkin kau yang berhenti...

Friday, December 1, 2006

LidaHati

itu lidah atau hati?
atau hati tanpa lidah?
atau sesungguhnya lidah tapi tak berhati?

pastilah itu lidahmu saja...

iya, lidahmu...

bukan? keduanya katamu?...

ah pastilah kau berdusta...

kau tidak bisa berkata seperti itu, sayang

kenapa katamu?
sebab lidah bisa muntahkan ambigu tersamar yang abstrak
ketika hatimu sedang berceloteh yang lain

hihi...kamu lucu

mereka berdua seperti kita sewaktu kecil dulu ya
seringkali bepergian bersama
bermain petak umpet
mengubur harta karun
terkadang saling mencela satu sama lain


bagaimana mungkin kini kau mengatakan padaku tentang keduanya?

ibarat manusia
keduanya tak mesti sejalan...
layaknya harmoni Franky & Jane

karena mereka juga hidup
bernafas...
berjalan...
juga makan dan minum...

jadi kutanya sekali lagi...

itu lidah atau hati?

lho...lho...

tidak perlu menangis, sayang
kau tidak perlu malu
semuanya telah jelas kini
dan kau tidak sendiri
semua pun begitu
aku pun begitu

kenyataan itu semu, sayang
sedang kesemuan itulah yang nyata

kalau tidak buat apa aku menulis sampah ini?
sampah yang membuatku mual
mataku ku pun berkunang
ingin muntah rasanya...

tapi bagaimana lagi

hatiku pun sedang ingin berceloteh
bukan lidahku