Wednesday, February 28, 2007

Pemakan Jantung

Terlihat kerumunan manusia berkumpul di tengah lapangan di mana di sekitarnya berdiri tegap gedung-gedung pencakar langit. Kerumunan tersebut begitu padat membentuk lingkaran. mereka tengah menyaksikan sesuatu. Baik tua maupun muda berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, saling sikut, dan saling jinjit hanya untuk melihat yang tengah terjadi di sore itu. Anak-anak kecil dengan gesitnya menembus kerumunan tersebut melalui sela-sela kaki dan pinggang orang-orang dewasa hingga bukan mustahil pada akhirnya para anak kecil ini menjadi berdiri yang paling depan. Suatu pemandangan yang langka terjadi di metropolitan. Tidak sedikit pula kendaraan-kendaraan bermotor yang menepi sekedar melihat dari jauh apa yang tengah terjadi atau berhenti dan turun langsung untuk melihat di tengah lapangan tersebut. Pepohonan yang ada di sekitar pun harus rela dahan-dahannya di penuhi manusia. Begitu juga halnya dengan tiang-tiang listrik. Langit semakin merah. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Pemandangan yang terjadi saat itu begitu mengesankan bagi semua orang yang melihatnya.

Seorang bocah tengah mengoyak jantungnya sendiri dengan taring-taring tajam miliknya. Darah segar memuncrat saat gigitan pertamanya merobek merahnya nyawa kehidupannya sendiri. Percikan-percikan darah dari seonggok daging tersebut menghiasi sekitar mulutnya. Amis bukan kepalang baunya. Tapi bukan soal baginya. Orang-orang melihatnya seperti sebuah ritual khusus yang di lakukan bocah tersebut. Mereka mulai menggunjing. Menganggap bocah tersebut tidak lagi waras atau gila. Sedikit lagi seonggok daging yang ada di genggaman bocah tersebut habis di lahapnya. Sesekali dia tersedak saat menelannya karena terburu-buru. Ia sama sekali tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Secara tak sadar ia telah menjadikan dirinya menjadi sebuah tontonan yang menarik. Lebih menarik dari atraksi debus yang begitu-begitu saja. Ini spektakuler!.

Tak sedikit dari mereka yang muntah di tempat lalu segera beranjak pergi. Kerumunan bukannya semakin sedikit tapi malah semakin banyak. Seakan mengalir tanpa henti bagai air yang mengalir. Ada yang setia dari Ashar tadi menyaksikan yang di lakukan bocah tersebut. Ada pula yang datang sekedar untuk melihat apa yang terjadi lalu pergi lagi. Datang pula pemuka-pemuka agama setempat untuk melihat apa yang terjadi. Mereka haya bisa mengurut dada dan terus beristighfar. Tak ada yang berani untuk menghentikannya.
Sungguh aneh. Onggokan daging di tangan bocah tersebut itu apa benar jantungnya?. Sudah hampir tiga jam dia mengunyahnya tanpa henti. Tapi dada sebelah kirinya berlubang. Darah pekat terus-terusan mengalir tanpa henti. Bocah itu tak juga lemas. Di sebelah kakinya tergolek sebilah pisau dapur penuh darah. Nampaknya dengan pisau itulah ia menyayat dadanya lalu mengambil jantungnya sendiri. Semakin aneh. Jantung tersebut walaupun terlepas dari jasad si bocah tersebut namun tetap berdegup tanpa henti. Mengapa ia tidak mati?. Malahan bocah itu memakannya seperti kesetanan. Memakan sesuatu yang tak ada habis-habisnya. Lihatlah ia!. Makan dengan lahap di iringi adzan Maghrib yang tengah berkumandang.

Langit semakin gelap. Kerumunan semakin padat. Bahkan jalanan sudah menjadi tempat parkir bagi kendaraan bermotor. Semua orang turun ke jalan untuk menyaksikan kejadian di tanah lapang tersebut. Polisi pun sudah berdatangan sejak tadi. Namun sama seperti para pemuka agama tadi. Mereka hanya bisa menatapnya. Mereka tak dapat menghentikannya. Bukan karena mereka tak mau. Tapi tubuh mereka seakan beku tak dapat bergerak sedikitpun di dekatnya. Para wartawan pun mulai berdatangan meliput bocah yang masih asyik dengan santapannya itu. Malam itu siaran televisi di seluruh penjuru negeri menjadi sebuah liputan khusus atraksi bocah pemakan jantungnya sendiri. Suatu peristiwa abad ini!.

Apa sebenarnya yang ada di kepalanya?. Kejadian apakah yang baru saja menimpanya?. Apakah ia sedang kerasukan?. Tak henti-hentinya pertanyaan demi pertanyaan tersebut mengalir deras di kerumunan penonton. Namun mereka hanya bisa mengangkat bahu. Lalu beberapa menit kemudian pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang lagi. Dan lagi-lagi mereka semuanya hanya bisa mengangkat bahunya masing-masing. Mengapa tidak ada yang mau mendekat?. Mengapa tidak ada yang mau menyelamatkannya?. Apa yang terjadi bila ia menghabiskan jantungnya?. Apakah ia akan benar-benar mati?. Ataukah ia masih hidup dan mengeluarkan isi tubuhnya yang lain?. Paru-parunya misalnya?. Mereka yang melihatnya sama sekali tidak mengerti. Jantung yang tinggal seperempat itu, apakah masih berfungsi apabila di letakkan kembali ke tempat asalnya?.
"Lakukan! Lakukan!". Bocah tersebut menatap tajam ke sekelilingnya. Ia memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama dengan dirinya. "Lakukan! Lakukan!", suaranya lantang. Ia membelalakkan matanya, seakan mau keluar. Tangannya yang berlumur darah menunjuk ke arah orang-orang di sekitarnya. "Lakukan! Lakukan!". Mereka yang berdiri di dekat bocah tersebut mulai sedikit ngeri dan mundur perlahan. "Cepat lakukan!". Mereka yang menonton hanya terbengong-bengong. Tak tahu mengapa ia menyuruh mereka melakukan hal yang sama dengannya. Bocah itu berdiri perlahan, jantungnya belum habis di lahapnya. "Lakukan!". Sekali lagi ia menyuruh mereka untuk berbuat seperti dirinya.

Mereka yang menonton mulai ketakutan. tak terkecuali para polisi, wartawan, dan pemuka agama. Mereka mundur perlahan-lahan. Setiap kali bocah tersebut berteriak, pasti dari mulutnya memercikkan darah. "Lakukan! Cepat!".
Saat itu, ada seorang pria setengah baya keluar dari kerumunan dan mendekat ke arah bocah tersebut. Ia berjalan perlahan ke arahnya. Sedikit takut dan ragu-ragu. Tubuhnya sedikit gemetar. Bocah tersebut nampak senang melihatnya. Lalu ia meraih pisau yang tergolek di tanah dan memberikannya pada salah pria tersebut. "Ini! Ambillah!".
Tangan pria itu meraih pisau yang di berikan oleh si bocah. Setelah pisau ada di genggamannya, tak di sangka ia melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan bocah itu. Ia menusuk dadanya sendiri. Menyayat-nyayat. Lalu merobeknya hingga membuat lubang yang ternganga di dada kirinya. Ia menjerit keras. Penonton seakan tak percaya pria setengah baya tersebut akan melakukan hal gila tersebut.

Lalu dari lubang di dada kiri pria tersebut nampak sebuah daging yang gemuk dan merah. Daging tersebut berdegup. Itu jantungnya.
Lalu ia segera meraih jantungnya dengan tangan kanannya. Dan menariknya kencang-kencang hingga terlepas. Di makannya jantung tersebut. Sama seperti bocah itu. Pria setengah baya tersebut mengikuti apa yang di perintahkan oleh bocah itu. Ia makan dengan lahap. Mulutnya berlumur darah. Ia mengoyaknya tanpa henti. Ia tampak menikmatinya. Memakannya sambil duduk bersila di temani bocah itu.
Mereka yang menonton terheran-heran. Apakah seenak itu jantung kita?. Tak lama kemudian salah seorang lagi mendekati kedua pemakan jantung tersebut dan melakukan hal yang sama seperti mereka. Satu persatu dari mereka pun turut mencobanya. Seorang. Dua orang. Tiga orang. Empat orang. Dan seterusnya. Ada sekitar dua ratus ribu manusia yang mengelilingi mereka. Sedikit demi sedikit mereka tidak lagi menjadi penonton penyantap jantung sendiri itu. Melainkan mereka pun turut mencobanya. Tak terkecuali pula para polisi, wartawan, pemuka-pemuka agama, bahkan anak-anak kecil. Nikmat sekali. Di bawah terang bulan purnama sambil menyantap jantung sendiri. Suatu pengalaman yang tak akan terlupakan. Bersama dua ratus ribu orang di sini. Menggelar pesta rakyat dadakan. Mungkin mereka yang di rumah masing-masing pun kini tengah mencobanya. Menu makan malam hari bersama keluarga adalah jantung sendiri. Bagaimana kalau di goreng?. Di panggang mungkin?. Apakah akan sama enaknya dengan memakan mentah?. Semua harus mencobanya. Seluruh manusia di dunia harus mencobanya.

Tuesday, February 27, 2007

Komando Abad 20

Titik-titik dalam lingkaran mulai bergerak
ratusan ribu bahkan jutaan titik yang tersebar
mengusung tinggi-tinggi papan sub lingkarannya masing-masing
sedang sang kaisar tengah termangu di kursi besarnya

Titik-titik dalam lingkaran siap melumat enam juta titik lainnya
andaikata mereka bergerak pada arah yang sama
maka tiada lagi titik-titik yang terpencar
melainkan menjadi gumpalan raksasa yang berwarna hitam

Di lain tempat barisan panjang pasukan merah melakukan long march
di bawah komando Paman Berwajah Ramah yang telah almarhum
para aristokrat di seberang tersenyum sinis menatap mereka
sebentar lagi dunia bergolak

Kembang Mawar

Duhai kembang yang sedang mekar
wangi benar dirimu dan mahkotamu
tangkaimu berdiri tinggi semampai
merayu kumbang dan kupu-kupu yang tengah melintas

Duhai kembang yang sedang mekar
baru sejenak dikau berdiri sendiri
seekor kumbang hinggap di mahkotamu
menghisap habis madumu

Duhai kembang yang sedang mekar
belum lama si kumbang pergi
datang seekor kupu-kupu hinggap di mahkotamu
menghisap habis madumu

Duhai kembang yang sedang mekar
telah habis madumu di hisap mereka
tangkaimu lemas terkulai
tiada lagi yang hinggap di mahkotamu

Duhai kembang yang sedang mekar
tinggal sedikit waktu untukmu sebelum mati
berikan satu persatu mahkotamu pada ulat dan belatung di dalam tanah
pergilah dengan tenang

Sunday, February 25, 2007

Di Bawah Fajar

Ini antara waktu yang berbicara. Bukan antara kutu. Di rentang ini pula segelas susu coklat hangat menemani dalam remang suasana fajar. Sekat berjendela kaca yang memanjang membatasi antara lantai dan taman biru. Pukul setengah lima mengatakan saatnya lari pagi. Dari Jalan pahlawan berkumis sampai dengan alun-alun. Sepulangnya si Adik kecil terjatuh di jalan. Memeriksa lututnya apakah luka?.
"Pintar! tidak menangis", kata Mama
Mama pula yang berkata dirinya pernah memungut kotoran bintang. Katanya bercahaya terang. Adik kecil melihatnya. Bahkan memegangnya. Maka itu, menatap genteng-genteng rumah orang di sepanjang jalan adalah wajib hukumnya. Tapi hanya sebentar saja cahayanya. Selanjutnya Adik kecil dan Mama tidak pernah menemukannya lagi. Bagaimana mungkin bintang buang hajat?.
Langit sudah sedikit terang. Pukul setengah enam menjawab waktu yang telah hadir. Sepiring kecil roti yang di potong kecil-kecil berisi mentega gula, mentega mesis, dan susu di hidangkan. Kulitnya kering, jadinya selalu tersisa. Si Adik kecil makan dengan lahap. Tak menyisakan kulitnya sedikitpun.
Lampu-lampu belum di nyalakan. Masih terasa sedikit gelap. Ada Mama, Kakak, dan Adik di dalamnya. Lampu besar dan panjang di atap yang menjuntai ke bawah hampir tidak pernah di gunakan lagi. Televisi pun masih membisu.
Lalu Kakek berpeci hitam singgah ke rumah dengan bersepeda seperti biasanya. Secangkir kopi hitam dan koran menjadi teman setiap pagi. Dan bertualang lagi ketika pukul tujuh telah tiba kembali. Dayang-dayang yang cantik jelita mulai menari mengikuti alunan waktu. Lalu ada secangkir telur setengah matang yang di campur sedikit garam dan sedikit merica yang disukai. Setelah itu bertemu kembali dengan kawan-kawan kecil yang tak dapat berbicara. Hari ini mungkin temanya tentang pertarungan yang menentukan di tebing. Di bumbui sedikit adegan percintaan bisa menjadi lebih menarik. Begitulah fajar yang berputar. Yang selalu enggan mengembalikan apa yang telah di pinjamnya. Semuanya hanya sedikit tentang kisah si waktu. Yang kan terus terurai sampai akhir zaman.

Saturday, February 24, 2007

Lenyap

Dalam tidur pun gadis itu tak hentinya berbicara
Calon permaisuri kerajaan lelaki rupanya

Sobari

Kenapa harus Tuan Sobari yang di goda
Sedang ia tak mau di goda
Lihat Tuan Sobari berkelit
Dengan tubuh hanya di balut kolor
Kasihan beliau yang ada di pinggir trotoar
Untunglah dia cepat-cepat menghilang
Dia sedang telanjang

Tertidur Lima Detik

Penghapus karet berwarna biru yang biasa kugunakan hari ini entah hilang kemana. Lupa terbawa atau terjatuh di mana. Pilot hitamku melejit cepat torehkan isinya ke atas kertas putih yang bersih. Tinta cina di sebelahnya sengaja kusenggol biar tumpah di atasnya. Tapi Pilot hitamku tak hentinya melukis sekumpulan awan gelap. Lalu membuat cerita tentang sekawanan semut hitam yang tengah berbaris gembira di taman sedang kuinjak-injak sampai mati. Hingga pupus harapan mereka tuk menikmati butir-butir gula yang mereka angkut. Aku dan sepatu baruku yang melenyapkannya. Seperti rayap. Ialah seekor rayap yang merobohkan setangkai bunga yang sedang mekar di bawah cahaya matahari. Bukan seorang manusia. Ialah seekor rayap yang meruntuhkan bangunan-bangunan kokoh di seluruh negeri. Bukan pula seorang manusia. Hanya saja rayap tak pernah melihat. Tentulah ia tak dapat melihat bangunan atau benda mana yang sedang di hancurkannya. Oleh karena itu aku ingin penghapus karet berwarna biruku kembali. Kertas putih yang bersih tadi kini tak bisa lagi di bilang bersih. Aku capai. Mungkin jika waktu kembali muda lagi, aku ingin santai-santai saja.

Gadis Seksi

Ingin kupegang susumu
di balik ketat bajumu
tatkala kumelihat wajahmu
yang tengah bersemu-semu

Ingin kuelus bokongmu
di balik ketat spandexmu
terlihat jeplakan dalemanmu
apa itu?
yaitu celana dalammu

Sunday, February 18, 2007

Hierarki (Sub-Lowo)

Aku pangeran
Pedang yang terhunus di tangan kananku
Ujungnya yang tumpul nanti akan kuasah
Hingga tajam berkilau
Untuk menusuk tubuhmu
Mematahkan tulang-tulang tuamu
Oh engkau yang malang
Pagi mu, Siang mu, dan soremu hanya menjadi sebuah kisah saja
Kelelawar malam
Sebaiknya kau kembali saja pada malammu
Aku memujimu

Lowo

Satu kisah tentang kelelawar yang ingin terbang jauh di bawah terik matahari. Yang tak ingin lagi terikat oleh malam. Baginya pagi adalah anugerah. Siang penuh berkah. Dan sore menjadi sebuah kisah.
Untuk pertama kalinya ia melihat awan yang menggumpal bagai kapas. Bayangan dirinya di permukaan air laut yang jernih. Kawanan burung yang tengah terbang bersama. Dan birunya langit terbentang. Untuk pertama kalinya pula ia melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Ia terbang dengan kecepatan tinggi. Derasnya angin yang menerpa wajah tak membuat ia mengurangi kecepatan terbangnya sedikit pun.
Ketika ia melewati hutan belantara, di lihatnya sekelompok kera tengah berayun-ayun di akar gantung pohon-pohon raksasa. Si kelelawar bertengger sejenak di salah satu dahan pohon sambil memperhatikan mereka. Dunia begitu luas pikirnya. Namun ketika ia berusaha menyelami sekelompok kera-kera yang tengah bermain itu, ia tak lagi bergumam dunia itu luas, namun sebaliknya. Berjam-jam ia bertengger di sana. Lalu ia memutuskan tuk melanjutkan perjalanannya membelah belantara hutan. Beribu kilometer telah ia lalui, namun ia tak pernah temui akhir dari perjalanan yang membentang ini. Ia merasa bosan. Ia memutuskan untuk merobek luasnya samudera. Ini luar biasa, pikirnya. Di temuinya samudera yang tak pernah berakhir. Sesekali ia menyelam sejenak untuk melihat sekelompok makhluk yang
bernaung di dalamnya. Ia bergumam kembali, "kasihan mereka yang hidup di dunia yang sesempit ini". Dunia ini begitu ciut pikirnya. Serasa menghimpit dirinya. Hingga tulang-tulangnya remuk. Membuatnya luluh lantah. Ia pun muntah. Air matanya mengalir di pipinya.
Ia memekik. memekik. terus memekik. Ia tak bisa menerima keberadaan dirinya di dunia ini. Ingin lenyap. Aib bagi dunia ini. Aib juga baginya. Aku salah tempat. Aku bernaung bukan di sebuah dunia. Aku terlalu ngeri untuk mengatakannya. Di sekitarku tak terlihat satu makhluk pun. Aku sendirian. Langit yang membisu dan dunia yang berkelakar. Tolong. Selamatkan aku. Aku aib. Semuanya tiba-tiba menghilang dari kepalaku. Dadaku bergemuruh. Aku ingin ke luar angkasa. Batinku tersiksa. Waktu yang memaksa tubuhku untuk terus berlari. Tapi aku ingin berhenti. Menghirup teh dan sedikit cemilan di atas sebuah batu. Bersama sahabat-sahabat yang menghilang ribuan tahun yang lalu. Aku ingin kopi cokelat. Bukan kopi pekat. Kelelawar itu terus menangis meraung-raung. Batinnya juga tersiksa.
Bergelut dengan dirinya sendiri. Deritanya tak menjadi bahagia. Bahagianya tak menjadi derita. Suka citanya tak menjadi cita. Duka citanya tidak pula menjadi duka. Berhenti.
Itu sekotak mainan yang telah berdebu dan tenggelam oleh air mata mereka sendiri. Dan pernah kau torehkan dirimu di tubuh-tubuh mereka. Kelelawar terus memekikkan namanya sendiri tiada henti. Lalu bercerita tentang bumi yang berputar pada porosnya. Berevolusi pada
matahari. Bumi yang bulat. Bumi yang menghampar. Bumi yang tegak. Manuskrip-manuskrip yang bertebaran di tiup angin. Lenyap di telan matahari dan panasnya. Putera mahkota. Dirimu tak di hargai sedikit pun. Tak lebihnya seonggok kotoran di tepi jalan. Dirimu tidak eksis.
Generasiku. generasiku. Yang akan mengambil alih kekuasaan. Yaitu generasiku. Aku ada. eksis. matamu buta. awan yang menggumpal menutupi pandangmu dari matahari yang panas dan bercahaya. Keledai tua yang sebentar lagi tulang belulangnya berserakan. Sebaiknya menjadi penonton saja. Kisah cerita dunia ini. Hingar bingarnya.
Aku pangeran. pedang yang terhunus di tangan kananku. Ujungnya yang tumpul nanti akan kuasah. Hingga tajam berkilau. Untuk menusuk tubuhmu. Mematahkan tulang-tulang tuamu. Oh engkau yang malang. Pagi mu, Siang mu, dan soremu hanya menjadi sebuah kisah saja. Kelelawar malam. Sebaiknya kau kembali saja pada malammu. Aku memujimu.

Monday, February 12, 2007

Sekarat

Mungkin beberapa jam lagi kita kan berpisah
terbangun di pagi selanjutnya tanpa mengenali sesama lagi
aku menatap dirimu yang kehilangan sebagian ingatan mu
semuanya mungkin...

akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah berkelakar bersama seorang gadis latin?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah menggoda ibu-ibu muda yang seksi di tempatku?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah memuji keelokan seorang gadis berambut pirang di sebuah sekolah?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah mengagumi kemolekan gadis-gadis yang masih bau kencur di sini?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah memberi penilaian pada setiap atraksi gadis-gadis sirkus itu di kursi ini?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah terhenyak dengan keimutan gadis-gadis jepang di rumahku?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah mandi bersama dengan pelacur dalam hangatnya air di kamar mandiku?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah mencoba mengintip seorang gadis muda yang tengah tertidur pulas di kasurku tanpa busana sedikit pun?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah berbuat liar bersama wanita bergaun merah di kamarku?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah menangkap basah sepasang gadis muda tengah bercumbu di kamarku?
akan masih ingatkah kau kalau dulu kita pernah memergoki sepasang muda mudi tengah bermain kuda-kudaan di karpet ini?

Hihi...
semuanya begitu indah
begitu lucu kalau kubilang
andai saja kau tidak terjangkit penyakit itu
kita kan terus mengarungi kesenangan-kesenangan itu bersama
sampai ini semua harus berakhir

Tak kusangka baru sekejap kita bersama
kau harus pergi bersama sebagian ingatanmu
hidup serasa sehari saja
begitu cepat

Akankah kau masih ingat diriku nanti?
kamar ini?
kursi ini?
tangan ini?

Ataukah semuanya harus kembali lagi dari nol?
mengenalkan padamu lagi tentang apapun yang kau temui?
kalau memang itu yang harus terjadi
akan kulakukan

Sekarang semuanya tergantung pada diriku
yang masih berat melepas kepergianmu
yang bersikeras menahanmu tuk terus hidup bersamaku
sampai kau mati dengan sendirinya

Sunday, February 11, 2007

Istana Pasir

Terdengar derap langkah gontai dalam sayup desir zaman

berbondong-bondong ternak tengah baris berbaris rapi bagai prajurit siap menyambut mati

di medan senja bertebar bunga dengan ujung penuh muntah

tali-tali yang di ikat pada leher dan ekor mereka sebagai sebuah realita nyata

korban kekaisaran zaman di atas awan yang telah lama di mulai

bermacam warna jeritan terdengar dari mulut mereka yang bisu

sambil menatap pada aspal panas pelepuh kaki-kaki tak berdaya

beserta langkah yang retak di makan detak jam

yang hancur berkeping bersamaan wajah-wajah mereka

sebagai jiwa-jiwa terlontar

Aku teringat pada Tole yang bercerita tentang rupa

yang berkisah tentang ratusan camar beterbangan di angkasa bagai anai-anai

dan kura-kura belian sebagai induk semang yang bernaung di dalam lingkaran tak berjiwa

dimana camar-camar yang berimigrasi di tempat kini tengah berceloteh

kasihan si Tole yang tak paham apa yang sedang mereka celotehkan

di karenakan oleh samarnya sebuah bahasa yang mengalun lantang

yang di tatapnya hanya mereka yang kian lama jumlahnya kian bertambah banyak

hingga ia menepi ke tepi yang paling tepi

menyepi ke tempat yang paling sepi

menjauh ke sebuah tempat yang paling jauh

dan bergumam puas dengan hanya menjadi sebatang pohon bambu di ladang

Sebagai jasad yang tunggal

Katakanlah, Tole...

katakan...

kau jiwa manunggal yang tersisa

coba kau tengoklah sebentar

pada kaisar beserta kasim-kasim yang mengelilinginya

kala sedang berpesta di sebuah meja besar

dalam sebuah tempurung sunyi bernama tuli

lalu berkilah tentang adanya peradaban

mereka yang meyakini langit t'lah pekak

sebagai saksi bisu abadi yang tengah hidup dalam waktu

bibir-bibir kering yang mengatup rapat seolah terkunci

mata-mata yang membelalak menatap ingkar

ternyata hanya menjadi sebuah cerita semu yang klise

memang telah terjerembab begitu dalam wajah-wajah ini karena ulah permainan mereka

hingga harus kehilangan sebongkah permata yang berharga

yakni sepasang mata

sepasang telinga

sepasang tangan

sepasang kaki

dan rupa

Tuesday, February 6, 2007

Objektivasi Diri Dalam Ilusi (Part3)

Malam hari yang gelap di sertai rintik hujan. Entah waktu itu aku melihat bintang atau tidak. Sebuah petualangan sekejap yang terjadi antara diriku dan dirimu dimulai. Dengan sebuah mobil kijang di sebuah jalan berkelok yang licin nan sedikit terjal. Apakah aku bertemu dengan dirimu sebelumnya ataukah saat itu kita sudah berada di dalam mobil tersebut?. Tapi yang kuingat adalah sedikit senyum mu 'tuk menjauh dariku. Mungkin hanya perasaanku saja.
Ini pasti karena semalam.
Ketika aku duduk bersebelahan dirimu di sofa dan di depan kita ada televisi yang menyala.
Sepasang tatap aku lihat.
Selembar senyum aku tatap.
Dan sebuah keanggunan yang ku kagumi.
Perkataanmu yang semalam itulah yang ada di malam yang ini.

Mobil kijang yang kita tumpangi bersama beberapa sosok lainnya melaju cukup kencang. Menggilas lumpur tiada ampun. Menembus hujan dan angin sejuk. Bersama pekatnya malam itu. Sekitar beberapa kilometer kita melaju dalam gelap. Dalam sebuah mobil sempit. Bagai sekumpulan ayam yang kaki dan tubuhnya di ikat dalam truk. entah hendak di bawa kemana. Berdesak-desakan hingga hampir tak bisa bernapas.
Mobil kijang yang kita tumpangi berhenti. Sudah sampai di tujuan. Kita pun turun bersama.
Sebuah gang di depan mata. Aku lupa jalan apa itu namanya. Jalannya becek, penuh lumpur. Aku juga melihat beberapa genangan air di sana.
Lalu kita berjalan melalui gang tersebut. Ada dua orang yang berjalan menuju kita. Salah seorangnya bertubuh pendek. Aku menduga mereka sepasang sahabat atau saudara. Mereka berjalan melewati kita begitu saja.
Di ujung gang semakin gelap. Ada sebuah gubuk di sana. Di dalamnya lebih gelap lagi. Tapi aku dapat melihat dengan sedikit jelas di dalamnya. Entah apa yang waktu itu kita bincangkan di sana. Tapi aku yakin semalam itulah yang kau katakan padaku di malam ini.

Waktu berlalu cepat. Hanya sebentar kita berbincang. Kita pun bergegas kembali ke mobil kita. Tapi langkahmu terlalu cepat. Aku tertinggal.
Kita saat ini tengah berada di daerahmu.
Aku dapat mengenali jalan ini.
Itu jalan menuju rumahmu. Gang yang kita lalui adalah jalan menuju rumahmu.
Aku tak sempat menyusulmu. Kau meninggalkan aku sendirian. Aku tak sempat naik mobil. Laju mobil kijang tersebut sekitar beberapa kilometer per jam saja. Berjarak sekitar lima atau enam meter di depanku secara permanen. Aku terus mengejarnya.
Berteriak tanpa suara. Namun dengan sedikit asa.
Dua orang yang tadi kita lewati tadi tengah berjalan menuju ke arahku. Choi?. Mirip.
Mengapa tak kau hitung dulu jumlah orang yang ada di mobil kijang itu?.
Tidak kah kau heran kalau tidak ada kicauku di dalamnya?.
Aku di temani cekam di malam itu.
Bersama hujan yang turun ke bumi.
Itulah yang terjadi antara aku dan dirimu. Dan juga sosok-sosok yang ada di dalam mobil kijang kita. Saat semalam itu.

Katakan...

Semprna! Sepurna! Sempra! Semura!
Smpurna! Spurna! Sempun! Smpura!
Sempuna! Semurna! Semuna! Smpu!
Smprna! Seurna! Semua! Smpur!
Smprn! Seuna! Sempa! Smna!
Sempura! Sempur! Sempu! Smra!
Sempua! Sempurn! Seurna! Smua!
Empurna! Epurna! Eurna! Sma!
Emprna! Empurn! Euna! Era!
Emprn! Emurna! Emua! Eura!
Empun! Emurna! Eua! Epra!
Emuna! Emura! Ea! Empua!

Sepa! Sempu! Seua! Sea!
Sepua! Sempra! Ser! Sena!
Sepuna! Sempa! Sep! Semu!
Seprua! Sempr! Sem! Smu!
Sepur! Serna! Seu! Smp!
Sepura! Sera! Ser! Sepa!
Sepra! Seura! Seur! Sem!
Epa! Eu! Ern! Eun!
Epur! Eru! Erna! En!
Epura! Emp! Ema! Er!
Epurna! Empu! Emur! Em!
Empur! Ep! Emu! Emu!

....dst....dst....

Gabungkan kata-kata yang kau sukai lalu katakan padaku tentang sempurnamu.

Monday, February 5, 2007

Manusia Dalam Kabut

Ada dua jalan kecil yang terbentang di depan kita. Aku ingin berjalan melalui sebelah kiri saja. Dan kau pun sebaliknya. Mungkin kedua jalan ini akan bermuara di suatu tempat yang sama. Aku memerlukan sebuah sampan untuk menempuh jalanku. Dan kau memerlukan sebilah pisau komando untuk membantumu berjalan di tengah semak belukar. Aku menemukan sampan di tepi sungai beserta dayungnya. Entah milik siapa. Aku curi saja.

Kau sibuk membuka jalanmu dengan sabetan pisau di tanganmu. Kelihatannya kau menikmatinya dan sudah terbiasa. Aku tahu. Kau sudah berpuluh tahun bergelut di daerah ini. Kau sudah mengenal betul setiap jengkalnya. Aku baru saja menginjakkan kaki ku kemarin. Tapi arus sungai ini sedikit deras. Aku takut lengah dan terseret. Kurasakan, ini bukanlah suatu yang berat. Tidak juga ringan. Sekitar 180 meter ke tepian. Dan aku tak tahu bilamana bahaya yang muncul ketika aku berada di tengah-tengah nanti.

Tatkala air di sungai kusibakkan dengan dayungku pada kedua kalinya, aku masih bisa menatap bayanganmu yang tengah menghilang dalam belantara belukar. Kecipak kecil air yang kuciptakan bersama dayung ini seakan memecah keheningan waktu itu. Dan aku pun masih mendengar sayup suara sabetan pisaumu menebas ranting-ranting dan dedaunan di depanmu. Kabut mulai datang. Membatasi jarak pandang di antara kita. Kita mulai terpisah. Berjalan sendiri.

Sungai ini sejujurnya terlalu luas untuk kuarungi sendiri. Kupikir setidaknya aku dan kau berada di dalam satu sampan yang sama. Sehingga kita bisa terus bercakap. Di terpa angin tipis. Menggigil dalam tebalnya kabut. Mengayuh dayung bersama. Dan mengalami rasa takut yang sama. Mungkin hanya gelak tawa yang terlontar dari mulut kita berdua. Ketololan demi ketololan yang tak berangsur sirna. Bercakap tanpa makna. Terkadang melintas saja. Tak berhenti di kepala masing-masing.

Tapi aku tahu. Setiap kali bepergian kau selalu menyimpan sesuatu di sakumu. Sekantong racun. Aku tak tahu apa yang akan kau perbuat dengan itu. Bila ingin membunuhku, sebenarnya kau pun sudah membunuh diriku. Kau hujam diriku dengan pisaumu. Dua belas tusukan atau tiga belas mungkin kurang. Kau robek dadaku dan kau ambil jantungku. Bagaimana rasanya kau kunyah jantungku yang merah itu? Pandanganku mengabur. Aku tak dapat melihat sekitarku dengan jelas. Di tambah kabut sial ini. Membuat segalanya menjadi semakin tak jelas. Aku kehilangan kompas sebelum kita temui persimpangan jalan tadi. Karena itu aku tak tahu harus kemana. Tapi sekilas aku melihat cahaya di tepian sungai. Aku tak tahu. Apakah itu kompasku. Atau pisau komandomu.