Monday, December 31, 2007

Si Manusia Kota

aku bersama si tak mau kalah
ternyata hanya seorang manusia kota biasa
manusia kota
yang seperti botol kaca

awas bila pecah
belingnya bisa melukaimu dengan parah
meski tanpa perlu di pecahkan
tetap bisa membunuhmu

Kupu-Kupu Kuning

coba lihat kupu-kupu kuning
yang berterbangan di antara dedaunan lebat
mereka berpasang-pasangan
mungkin sedang pacaran
atau baru kawin

sesekali mereka hinggap pada bunga-bunga kuningnya
sekedar untuk istirahat
atau mereguk madu
lalu kembali mengepakkan sayapnya
dan terbang lagi di temani mentari

ada seekor yang berwarna putih hitam
ia hanya singgah sebentar saja di sana
lalu pergi ke pohon di seberangnya
dan tak kembali lagi

ouw, ada angin besar berhembus
menggoyangkan dedaunan tiba-tiba
cukup mengejutkan mereka yang tengah bercumbu di atas bunga
tapi jangan kuatir
ia hanya mengucapkan salam saja
pada kupu-kupu kuning yang bermain

Thursday, December 27, 2007

Sajak Tahun Baru

empat hari lagi tahun berganti
gerak waktu sering kali menampar pipi kita berdua
dengan tak di sadari kini kita semakin dewasa
mungkin dua tiga hari lagi uban di rambut kita akan tumbuh
dan jari-jari tangan kita akan keriput
kita menjadi tua

mengapa kita masih saja berbincang kosong seperti ini?
aku ingin tahu apa yang kau sembunyikan dariku
dan apa yang kusembunyikan darimu
mumpung kita masih bisa bersama
dan masih bisa menertawakan kebodohan demi kebodohan bersama
tak ada yang tahu bila sebentar lagi ini berakhir

kita sudah cukup dewasa untuk memilih jalan masing-masing
tiada selamanya kita bisa berdua seperti kemarin atau tadi
cukup menyenangkan kita mengayunkan langkah bersama
berjalan di bawah rembulan berdua
kita seperti sepasang burung merpati
lain kali kan ku gandeng tanganmu erat

coba kau perhatikan suasana malam ini
lebih sepi dari hari-hari biasanya
itulah kesepian
sosok aneh yang kadangkala di benci
bahkan di rindukan oleh sebagian umat manusia
mereka yang membencinya adalah para perindu hati
dan mereka yang merindukannya adalah para pencari sejati
yang manakah dirimu?

bila saatnya tiba kita melangkah di jalan yang berbeda
masing-masing dari kita akan merasakan kesepian
kesepian kecil yang membungkus dada kiri kita
yang lalu menjadi jentik-jentik penyakit
di mana nantinya akan menghanyutkan kita ke laut kesunyian
nanti kita bisa jatuh sakit
nyeri

satu hal yang akan membuatku mati dalam penderitaan
adalah masih terkuburnya sebuah sajak yang tertinggal di dalam dada
yang masih kusembunyikan untukmu
di saat kita telah menempuh jalan yang berbeda...
aku tak tahu bagaimana denganmu...apakah juga begitu?
tapi saat itu kita sudah tak bisa lagi sering bertemu
mungkin aku sudah jadi kakek dan kau juga sibuk jadi nenek
bahkan mungkin juga kita sudah lupa apa yang pernah kita lakukan dulu
dengan kata lain : terlambat

aku tidak ingin menjadi hantu di tahun baru
atau menjadi hantu penasaran seumur hidup
aku ingin berbicara denganmu tentang sajak yang terpendam
selagi aku masih hidup dalam tingkat kewarasan yang wajar
dan dunia belum memisahkan kita

aku ingin kita berdua menggalinya bersama
dan menemukannya bersama
lalu membacanya dengan keras-keras
agar dunia tahu...tidak!....angkasa raya beserta penduduknya pun tahu
tentang apa yang kutulis tentangmu

bagaimana denganmu?....
apakah kau juga menyimpan selembar sajak untukku?
berapa tahun lagi kan kau bacakan untukku?
saat usia kita 70 tahun kah?
87 tahun kah?
atau mungkin nanti kau bacakan di depan nisanku?
sebagai hadiah kematianku yang terindah?
aku akan tetap menantinya

Wednesday, December 26, 2007

Dermaga Kecil

senja semakin merah seperti rona mawar
langit sebentar lagi padam di telan awan tebal
di langit segelap ini, bagaimana mungkin bintang terlihat dik?
perahumu yang terombang ambing nampaknya sudah mulai bisa bergerak teratur
mendekati dermaga kecil yang sudah tak asing lagi bagimu
kau tak tahu...
aku tambatkan kapalku di dekat dermaga yang kau tuju itu
hendak menjemput kedatanganmu

senja merah tak lagi tampak di langit
yang ada hanya terang purnama tanpa gemintang
dermaga itu mungkin menjadi tempat persinggahanmu yang abadi nanti
setelah pernah terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni yang besar
engkau boleh kembangkan senyummu tatkala perahu kau tambatkan di dermaga itu
dan berlinangan air mata kebahagiaan sampai puas

tapi aku akan segera pergi dari dekat situ bersama perahuku yang selalu tua
mendayungnya sekuat tenaga hingga kedua lenganku putus
mengkaramkannya di tengah laut yang jaraknya sejuta mil darimu
membaringkan tubuh yang mengigil di atas permukaan air laut yang tak berdasar
hingga kau pergi dari dermaga itu
atau aku yang menghilang selamanya
seperti senja merah yang tak muncul lagi untuk kedua kalinya

Tuesday, December 25, 2007

Balada Tidurmu

tringg..tringgg....triingg...
ooo laa..laaa...laaa....

tring..tringg..triingg...

petikan gitar akustikku mengantarmu tidur

tring...tringgg...triinngg...
menemanimu sampai bermimpi indah

tring...tringgg..triingg...
la..la...la...laaa...

tring...tringg...tringgg
kasihan...

tringg..triinngg..trinnnggg...
hari ini lelah sekali ya?

tring..trinnggg..tringgg...
ya sudah tidur saja

tringg...tringgg..tringgg....
besok lagi bicaranya

triing...trinngg...triiinggg....
la...laaa..laaaaa....

tring....triingg....trinnggg....
aku memetik gitar akustikku

tring...tringgg..triinggggg...
menemani kantukmu

tringg...tringgg.....tringggg...
hingga membuatmu tertidur

tring...tringg...trinnggg...
ooh la...laa..laaa....

tringg...tringgg..trinnggg
semoga kau mimpi indah

trinnng...tringg....trriinnggg....

Saturday, December 22, 2007

02:38 AM

langit masih gelap
sinar mentari masih belum terbit
ini baru pukul setengah tiga pagi
masih terlalu sore untuk tidur
bagi mereka para penenggak
cawan asmara

Sajak Yang Gosong

sajak yang hangus terbakar tak akan mungkin bisa terbaca
lebih baik di masukkan ke keranjang sampah
atau di hancurkan sekalian tanpa sisa
dengan jari-jarimu yang patah

terima kasih kepada apimu yang telah memberangus sajak-sajakku
kini semuanya menjadi tak berguna
hanya tinggal serpihan-serpihan yang telah gosong
yang akan terbawa angin sampai hancur

tampaknya angin membawa apimu untuk membakar yang lainnya
setelah membuat kebakaran hebat di sini
entah sampai berapa jauh angin akan membawamu
aku ragu dapat melihat nyala terangmu lagi

aku melangkah berlawanan arah dengan pergimu
sambil menghamburkan serpihan-serpihan sajakku yang telah gosong
ke jalanan yang penuh kerikil dan lumpur becek
yang tak pernah mau kau lewati

hutan belantara tempat si gila bersembunyi
yang tengah menghancurkan dirinya dengan sajak-sajak miliknya
mungkin bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menyendiri
sampai aku bisa terbangun untuk yang kedua kalinya dari mimpi panjangku

Thursday, December 20, 2007

Halo

bagaimana kabarmu pagi ini?
-baik-baik saja-

(bunyi detak jam)

..................................


nyenyakkah tidurmu semalam? mimpi apa?
-nyenyak donk. Lupa mimpi apa-

(bunyi detak jam)

...................................

sedang apa? sibuk ya?
-Chating sama teman-

(bunyi detak jam)

...................................

pagi-pagi begini? siapa?
-ada deh-

(bunyi detak jam)

.................................

ooo ok

(bunyi detak jam)

.................................

(menyalakan lagu-lagu di Winamp)

.................................

(pandangan menerawang ke langit-langit)

.................................

(mulai menulis)

................................

"bagaimana kabarmu pagi ini?"
"baik-baik saja"

(bunyi detak jam)

..................................


"nyenyakkah tidurmu semalam? mimpi apa?"
"nyenyak donk. Lupa mimpi apa"

-bunyi detak jam-

...................................

"sedang apa? sibuk ya?"
"Chating sama teman"

-bunyi detak jam-

...................................

"pagi-pagi begini? siapa?"
"ada deh"

-bunyi detak jam-

.................................

"ooo ok"

-bunyi detak jam-

.................................

-menyalakan lagu-lagu di Winamp-

.................................

-pandangan menerawang ke langit-langit-

.................................

-mulai menulis-

................................

Wednesday, December 19, 2007

Puisimu

puisi ini kutulis untukmu
bukan untukku
tapi untukmu
kamu tahu?
pasti tak tahu
kalau kuberitahu
kamu pasti cemberut
terus sakit perut
dan hubungan kita pun jadi surut

ini puisimu
puisi tentang dirimu
bukan puisiku
bukan pula tentang diriku
tapi kamu tak tahu
dan tak akan kuberitahu
cuma aku yang tahu
coba tanyakan pada hatimu
kalau kau memang ingin tahu

Sunday, December 16, 2007

Kok Ngumpet

kok ngumpet?
tadi tidak ada
sekarang muncul tiba-tiba
tapi diam

kok ngumpet?
sedang tidak ingin di ganggu
atau sudah muak
kusatroni malam-malam?

kok ngumpet?
lagi sibuk
atau jalan-jalan
sama papa-mama?

kok ngumpet?
ini kan hari minggu
bukan hari senin
atau sabtu

kok ngumpet?
sebenarnya kamu ada kan?
atau tidak ada?
atau pura-pura tidak ada?

kok ngumpet?
kok ngumpet?
kok ngumpet?
kok ngumpet?

?????
????
???
??
?

Yaah...!

sayangnya cuma mimpi

Friday, December 14, 2007

Harta Karun

aku tengah memendam harta karun
kusimpan di sebuah peti dan kukuburkan di dasar bumi
agar tak ada yang tahu
apa yang tengah kupendam

tapi aku ingin hartaku di ketahui
maka itu kunci dan petanya kuberikan padamu saja, sayang
agar bisa kau temukan petinya
dan bisa kau lihat
apa yang kusimpan di dalamnya

percuma

Malam ini aku berteman dengan kesia-siaan
sebuah harapan kosong melompong
fatamorgana di padang pasir
sebuah kemustahilan

apa yang sebenarnya kutunggu?
apa yang tengah kunanti?
terus terang
aku sengaja menyia-nyiakan malam ini
untuknya

Lima Menit

begitu aku sampai di rumahku
dan duduk di depan layar monitorku
kulihat ternyata kamu sudah tertidur
aku terlambat

memang hari ini sungguh melelahkan
dan sedikit menyebalkan...
seandainya kamu masih terbangun
aku ingin mengobrol sekali lagi denganmu
lima menit saja

Monday, December 10, 2007

Dua Jam Dari Tujuan

pada malam yang panas
seorang anak kecil tengah berlari mengejar bis
ia berlari begitu cepat
secepat bis itu melaju
sedangkan di dalam bis ini dua pengamen bersuara cempreng
menyanyikan dua lagu
seharusnya tiga lagu...
si kecil membagikan amplop
si pemetik gitar mendendangkan lagu cinta
malam seperti apa yang mereka jalani?
bila malamku adalah malam yang panas
pengap
pegal
penuh sesak oleh manusia...
di tambah lagi tengah mengenakan jaket setebal ini
dan sekujur tubuhpun basah kuyup

Sunday, December 9, 2007

Senin

saat ini mungkin kamu tengah jalan-jalan
menikmati udara malam
di bawah gemerlap lampu kota jakarta
dan di dalam mobil ...
seperti dirimu biasanya
yang suka jalan bersama kawan-kawan
belanja di mall mungkin
bergosip berlama-lama sampai lupa waktu
atau sambil makan di foodcourt
seperti wanita pada umumnya

tapi aku di sini hanya menanti seperti patung
di depan layar monitor
aku menanti senin...
di malam yang berawan
dan ruangan ber AC ini
aku menanti senin...

karena bila senin kembali
aku dapat menatap sebentuk rupa lagi
yang belum bisa padam
masih terus hidup bagai nyala api lilin
kecil namun berarti
dan tak mati walau kutiup berkali-kali
bahkan sempat membakar jariku
yang mencoba memadamkannya

aku terus menanti senin...
satu-satunya yang masih membuatku bertahan
menjadi pelacur mesin besar
adalah senin...
aku menanti senin...
masih ada api kecil yang menyala
di hari senin...

Tuesday, December 4, 2007

Jalan

bila ujung dari kehidupan di dunia ini adalah kematian
mengapa saat hidup harus takut menempuh jalan yang lain ?

Sunday, December 2, 2007

Kehidupan Baru

kehidupan nyata begitu mirip saat kita berusia enam tahun
atau saat pertama kali kita masuk kelas satu SD
di mana saat pertama kali memasukinya
semuanya terasa baru dan asing
ada sedikit rasa tegang dan cemas
bahkan kadang enggan pergi ke sekolah
karena ada seorang teman yang jahil
atau guru yang galak
disini saat disiplin mulai di terapkan
dan jangan sekali-kali kau melanggarnya
atau kau bisa kena setrap oleh guru
sudahkah kau kerjakan PR hari ini?
lalu bertemu dan berkenalan dengan teman-teman baru
yang belum pernah kau temui sebelumnya
bagaimana kau jalani kehidupan SD mu dulu?
apa yang membuatmu enggan pergi ke sekolah?
tentu ada maksudnya
kau tak pernah tak beralasan
tak pernah

Saturday, December 1, 2007

Huruf

melalui rentang jarak puluhan kilometer kita berbicara
tanpa memandang wajah masing-masing
terpisah oleh batas ruang dan waktu
yaitu sebuah layar monitor dengan barisan-barisan huruf
di mana huruf-huruf itu adalah kita sendiri
yang mencoba bertaut satu sama lain
hurufku dengan hurufmu mencoba bersatu
namun selalu tidak berhasil
bagaikan dua kutub magnet yang serupa bila di dekatkan
terlalu banyak huruf yang datang ke layar monitormu
tentunya bukan hanya huruf-huruf milikku saja
aku tahu itu
terkadang aku mesti rela huruf-huruf kecilku tergusur oleh milik mereka yang lebih besar
yang lebih mendapat tempat di hati dan layar monitormu
dan kau membiarkan huruf-hurufku duduk sendiri kedinginan di dalam layar
kadang terlupakan

bermain huruf memang menyenangkan
kadang-kadang kucoba sedikit menggoda huruf milikmu dengan nakal
dan kau pun balik menggoda huruf-huruf milikku
aku suka sekali merangkainya
apalagi merangkainya untukmu
di tengah kantuk yang hebat
aku tetap menyusun barisan hurufku serapi-rapinya
sudah kukatakan aku tak akan memejamkan mata sebelum engkau terlelap
aku juga tak tahu kapan ini harus berakhir
ataukah seperti ini yang terbaik?
aku ingin membunuh perasaanku sendiri
agar sekali lagi aku bisa berdiri tegar
dan sendiri
seperti huruf-huruf itu

Thursday, November 29, 2007

Berita Yang Hilang

apa kabar berita hari ini?
Apakah Ahmad Albar dan anaknya yang menjadi tersangka ataukah Fariz RM dan Roy Marten yang tengah mendekam dalam bui yang akan menjadi headline pagi ini?
kapan gunung kelud meletus? atau sudah meletuskah?
dan bagaimana dengan perkembangan anak krakatau dan semeru?
bagaimana dengan perhelatan konflik nuklir Iran dengan Amerika akhir-akhir ini? apakah ada kemajuan?
Apakah bumi Palestina sudah di rebut kembali dari tangan penjajah Israel?
Bagaimana pula dengan kancah perpolitikan di dalam negeri?
Kapan pemilu akan berlangsung lagi?
aku dengar Wiranto sudah mulai menebar pesonanya di radio
sebentar lagi perebutan gelar orang nomor satu paling tengik di negeri ini akan berlangsung
siapa itu adelin lis?
kok aku baru tahu sekarang?
lagi-lagi menghilang seperti koruptor-koruptor kelas kakap yang lalu-lalu
apa berita hari ini?
surat kabar pagi ini tergeletak begitu saja di atas meja
bertumpuk-tumpuk sejak berminggu-minggu yang lalu
tanpa sempat menyentuhnya seujung kertas pun
apa berita pagi ini?
bagaimana dengan jakarta hari ini?
bagaimana dengan indonesia pagi ini?

Tuesday, November 27, 2007

Malam Kali Ini

malam ini tidak romantis sama sekali
menderita sekali jiwaku serasa di siksa dan ditelanjangi
atau bahkan mungkin di tertawai
malam ini aku paranoid
aku tidak suka malam kali ini
apalagi jarakku dengannya semakin jauh
kepulanganku kali ini terasa hambar
di tengah malam yang panas dan di dalam bis yang pengap
pulang dengan berlumur kesialan
bangsat
besok aku berangkat pagi lagi

Wednesday, November 21, 2007

C Mayor

lagi
aku mencoba melukismu
lewat laguku
dengan dentingan gitar akustikku
yang senar atasnya lain bunyinya

aku ingin mengabadikanmu
lewat lagu
sebelum dirimu keburu menghilang
dari hatiku

karena sudah berkali-kali
mereka yang sempat singgah sebentar di hatiku
menghilang cepat
pergi tanpa bekas
kadang tanpa kesan

kali ini dirimu
yang tak sengaja terjebak dalam perangkapku
(atau dirikukah yang sebenarnya terperangkap olehmu?)
yang bermain cinta diam
cumbu sunyi denganku

sebelum engkau berhasil keluar dari perangkapku
(ataukah aku yang nantinya berhasil keluar dari perangkapmu?)
aku ingin mencipta lagu dari tangga nada C Mayor
karena banyak lagu romantis
tercipta dari tangga nada C mayor

dengan harap
lagu ini sebagai sepenggal buku harianku
kenangan yang terus tersimpan sampai tua
tentang kita berdua
yang tak bisa nyatakan suka
antara satu sama lain

namun begitu sulitnya kutemukan dirimu
dalam laguku
berbagai kunci dan nada kurangkai
tak juga tercipta dirimu
aku kepayahan

kugantungkan saja gitarku
apakah karena aku sudah tak bisa lagi mencipta lagu?
ataukah karena memang dirimu yang bagai kabut?
yang dapat kutatap namun
tak dapat kuraih

aduh kecewanya diriku
melukismu saja aku tak bisa
bagaimana aku bisa
membuatmu bahagia nanti
seandainya (nanti) kita bersama?

lagi
aku mencoba melukismu
lewat laguku
dari tangga nada C Mayor
dengan dentingan gitar akustikku
yang senar atasnya lain bunyinya

Saturday, November 17, 2007

Larut Malam

sudah larut malam
belum tidurkah engkau?
apalagi yang kau tunggu?
jangan tidur terlalu larut
nanti kau sakit lagi

iya aku juga mengantuk
tapi masih ada yang harus kutulis
bagaimana pula aku dapat memejamkan mata
jika engkau masih terjaga
biarkan aku menatapmu sebentar saja

Friday, November 16, 2007

Perangkap

ternyata sudah sedemikian dalamnya
lubang yang kugali sendiri
di dadaku

yang semula kusiapkan sebagai perangkap
namun malah engkau
yang tertangkap

bila sudah begini
bagaimana caranya agar kau bisa segera keluar
dari lubang perangkapku?

karena menyimpan dirimu
dalam lubang ini
adalah suatu hal yang aneh dan tabu

yang ada hanya
jerit pilu dan
rindu

karena kita selalu bersama
dan baru saat ini
tiba-tiba terungkap

mungkinkah terlambat?
ataukah tertambat?
atau waktu yang berjalan terlalu cepat?

Thursday, November 15, 2007

Antara Yang Tersembunyi dan Diam

engkau lelah
aku pun lelah
kita sama-sama lelah
hatiku pun lelah

aku tidak cemburu
cuma sedikit cemberut saja
jangan pedulikan aku
kita lanjutkan permainan ini

esok dan esoknya lagi adalah
hari-hari yang sama
sampai kapankah kita akan sama-sama lelah?
lelah bermain menipu rasa?

kita berdua memang manusia penipu rasa
pengingkar nurani sendiri
sedikit keras kepala
dan gengsi yang tinggi

coba katakan kau suka padaku?
ku tantang kau kini
pasti tak berani
begitu juga aku

karena cinta kita terpendam
terkubur masing-masing
tak bicara sepatah kata pun
hanya diam

Friday, September 14, 2007

Kabar Dari Seberang

apa kabarmu hari ini?
sudah lama aku
tak melihat

selembar senyum permata
dan sepasang tatap mutiara
milikmu


aku di sini baik baik saja
hanya selalu gelisah
memikirkanmu
apalagi di kala
sendiri dan
sunyi

pada waktu malam
dan siang hari
ataupun
di ruang-ruang
kosong
yang sempit
dan
pengap


hanya sebatang pena
dan buku kecil di saku
yang setidaknya
mampu
mengobati rinduku
padamu

pada lembar-lembar kosong

yang selalu terisi
oleh bayangan dirimu
tepaksa kuguratkan
ujung pena yang keras
menari
di atas lembaran-lembaran
itu

lembaran-lembaran kosong itu
kupenuhi
dengan
huruf-huruf kecil yang
kubentuk dalam hati

diam-diam
kurangkai
wajahmu dan

segalanya tentangmu
melalui huruf-huruf itu
dengan begitu
aku tak lagi merasa
kesepian
karena dirimu yang ada
di atas lembaran-lembaran itu
menemaniku
di manapun
aku berada

saat merangkainya
dapat kucium dirimu
dari jauh

banyak hal yang
ingin kutanyakan kepadamu
seperti : kapan kita akan bicara?
karena sudah lama
hatiku menunggu
kata-kata
pertama yang keluar
dari bibirmu
itu
seperti bayi
yang baru mulai bisa
bicara
menyebut : ma-ma...ma-ma...

aku pun terus
menantinya
bagai seorang ibu tua
yang letih dan
rapuh

yang kutakutkan hanyalah
dirimu yang sendiri
di antara
serigala-serigala liar
yang
lapar

aku pun salah satu
dari serigala liar itu
yang tergarang dan
terlemah
karena itu aku
selalu terkapar
dan terus mengais
sampah
yang kan terus menjadi
pecundang gila
bila

tak kau pedulikan

terima kasih atas
sekilas tatapmu kemarin
walau
secepat kerdipan mata
tetapi masih tersimpan rapi
dalam palung hatiku
yang terus bergelora
tanpa henti

lain kali
kan kusambung
lagi surat ini
dengan
lantunan
laguku

semoga kau membalasnya
dengan kata-kata

wassalam


karawaci, 14 september 2007

Thursday, September 13, 2007

Syair Rindu

aku menulisnya dalam kerinduan
yang memuncak
yang tak tertahankan lagi
bak merapi yang
siap meletus
memuntahkan laharnya
ke lereng-lereng gunung
meluluh lantahkan perkampungan
di kaki-kakinya
dan melumat
makhluk-makhluk hingga
tak bersisa

rindu membuatku gila
terpendam


andaikata
angin mampu membawa
syair-syair
rinduku
kepadamu

sudah kuucapkan beribu syair
baik dalam bangun
maupun tidurku dan

di setiap tarikan nafasku
maupun di setiap kerdipan
mataku

andaikata
lebih cepat kusadari tentang
keberadaanmu
tak perlu lagi aku bersusah payah
mengejar melati yang
t'lah terbang
tertiup angin
itu


engkau anggrek yang bersembunyi
di balik mahkota melati
yang selama ini kuciumi baunya
engkau yang bernafas pelan
namun kuketahui
desah nafasmu itu

aku pernah bercerita
tentang setangkai kembang dan
seribu kumbangnya yang
tak kupedulikan
namun
tak sanggup diriku melihat satu kumbangpun
terbang di atasmu
ataupun semut-semut
yang hendak mendaki
tangkaimu yang lunak itu

duhai engkau anggrekku sayang
berkenankah dirimu bila
kubasahi mahkotamu dengan
syair dan
air mataku?
walau kutahu
tak pernah sepadan syairku
bila di bandingkan
denganmu

namun aku terus belajar
sedikit demi sedikit
kata yang kurangkai
bak kembang
yang nanti kan kuselipkan
di telingamu hingga
engkaupun merona
dan kita pun
bicara

sungguh kunanti
saat engkau lantunkan
kata-kata lembutmu
kepadaku

sedetik
menatap senyummu
bagai setahun
dalam dekap
ilusimu

apa yang harus kuberikan
padamu
agar engkau berkenan
bertanya kepadaku?
sedang aku tahu
tak kumiliki
apapun
kecuali lidahku
yang kering dan
kadang membatu

bersediakah

engkau kubawa dalam
dekap kemelaratanku?
maukah engkau?

engkau
yang selalu terbayang
dalam
sepiku
ini bukanlah
sajak terakhir
yang kutulis
untukmu

Wednesday, September 12, 2007

Kedok Si Pembunuh

aku merasa engkaulah sosok itu. yang menikam dadaku dengan belati. aku menatap punggungmu yang tengah menyandar pada tembok di sampingmu. aku hanya berusaha membayangkanmu dalam pikirku yang terus menghantam dadaku. Kala senja itu. pembunuhku yang suci. sebelum aku sempat berkata apapun, kau sudah menghujamkan belatimu pada dada ini. kapan aku memiliki sedikit waktu 'tuk berbincang sedikit denganmu?. mengapa kau membunuhku?. dan mengapa aku terdiam. sorot itu. belum pernah ku temui lagi sorot yang dengan sinarnya mampu membuatku terpelanting begitu jauh. sebenarnya tanpa kau hujamkan belatimu itu pun aku sudah mati. hanya saja tusukanmu itu lebih memastikan kematianku. dan memperjelas kan kematianku.

dulu kau tak sendiri seperti saat ini. mungkin karena itulah aku lengah. aku yang terbentuk dari batu-batu yang kokoh malah terlubangi di tengahnya. muncratlah air itu. memang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kematian yang perlahan-lahan. aku tak bisa mati sekejap. aku musti mati berkali-kali. barulah aku dapat mengalami kematian yang sesungguhnya.
pembunuhku!, bergetar aku melihatmu. takut setengah mati aku memandangmu. kerdil jiwa ini di hadapanmu. lemas lututku begitu kau melangkah melewatiku. kelu lidahku. dan sirna segala keangkuhanku. sorotmu yang hanya sekilas itu menyisakan tanda tanya. tapi sorot yang sekilas itu kau berikan padaku setelah jantungku berhenti berdetak karena belati yang tertancap di dada kiriku. aku hanya menganga. rupanya selama ini aku hidup sia-sia. tak percuma ada yang masih peduli padaku. pembunuh suciku, biarkan aku menatapmu sekali lagi. dengan mataku sungguh-sungguh. aku hanya ingin mengenang mereka yang pernah membunuhku. biarkan aku menyimpanmu rapi dalam memori otakku. kau yang kesekian kalinya yang membunuhku. nanti siapa lagi?. aku enggan memikirkannya. yang kuinginkan saat ini hanyalah ingin menatap wujudmu.

dulu aku pikir kalau temanmu yang satu lagi yang akan menggoreskan luka di dadaku. dulu aku pikir dialah sosok itu. tapi kini ternyata aku sadar. pembunuh suciku yang ada di hadapanku. itulah engkau. wujudmu yang tersamar di balik tubuhnya. perlahan merangkai diri dan membentuk sempurna. dan kini jelas aku menatapmu. puas pula aku menatapmu. biar darah segar tengah bersimbah keluar dari mulutku yang tak bisa bicara lagi. namun tatapku terus mengawasi kepergianmu. bola mataku yang berkaca-kaca menatap kabur sosok dirimu yang semakin kabur. tak bisa lagi tubuhku bergerak. hanya kesakitan yang luar biasa pada jantungku yang tertembus ini. gerak hanya menambah sakit saja. aku mati berdiri. aku mati berdiri. aku mati berdiri. kupikir dulu kuburku adalah tanah yang kupijak. namun ternyata kuburku adalah sayup-sayup suara bisu yang keluar dari mulutku. suara bisu itu adalah sajak terakhir yang terangkai untukmu. aku ingin menatapmu sekali lagi. aku tak peduli pada dunia. entah surga atau neraka tempat yang harus kunaungi, aku tetap ingin membawa selembar potretmu. sebagai cendera mata terindah yang pernah ku punya. seseorang yang membunuhku. dengan sempurna.

Tuesday, September 11, 2007

Melukis

lukiskan tulisanku
bahasaku
lidahku
serta jiwaku

tanpa air mata
tanpa hati
dan
tanpa harapan

Monday, September 10, 2007

Dinamit

ku titip salam
pada dinamit
peluluh lantah
dadaku

ku titip salam
pada anak panah
beracun pelubang
dadaku

ku titip salam
pada pisau
pengiris-iris
dadaku


Selama seperempat abad terakhir akhirnya aku tertusuk lagi oleh tangkai mawar putih yang wangi. Duri-duri kecilnya mengoyak pelan kulit dan dagingku. Luka yang menganga lebar melelehkan tangisan-tangisan terpendam dalam tubuh selama ini. Semuanya karena sebentuk wajah imajiner terealisasikan dalam realita. Bibir yang mengatup erat gemetar, mengering bagai daun-daun layu. Ada si pemain jantung hati yang berdiri di depanku. Sekat-sekat imajinatif yang mendorongku menatap buta pada kegelapan. Jangan lihat. Tapi telinga tidaklah tuli, maka itu aku melihatnya melalui telingaku.
Bagaimana rasa setetes madumu itu?

ku titip salam
pada mereka
yang membunuhku
diam


aku meledak sekali lagi...

Saturday, September 1, 2007

Bergerak Diam

Sejenak diri yang berdiam pada satu sudut ini tengah bertanya kepada dirinya yang diam. Apakah kiranya melangkah adalah sesuatu yang nista?. Kadangkala tatkala mata memandang mereka yang berjalan dan berlari melewati diri dari depan dan belakang, tiba-tiba gemuruh badai gamang menggelegar dan menyambar-nyambar bagai petir di dalam dada. Kiranya, salahkah mereka yang bergerak?. Mereka yang bergerak dalam langkah yang sederhana. Langkah yang mengalun pelan menyambung langkah berikutnya pada esok hari dan keesokan harinya lagi.
Mereka yang merelakan tubuhnya menjadi landasan terbang yang tak pernah berkeinginan terbang terlalu tinggi.
Sedangkan diri yang masih berdiam pada tempatnya masih memiliki sejuta mimpi yang terkubur dalam-dalam. Manakah yang lebih mulia?.
Salahkah bila salah sejiwa bergerak lantaran di tinggal bapaknya pergi merantau kembali?.
Mereka yang kepayahan setelah melihat wujud dunia. Lalu diri bersama yang lain berdusta pada jiwa-jiwa serupa yang telah berjanji 'tuk bersatu padu di satu titik temu. Dalam hal ini, siapa lagi bila bukan lidah tak bertulang yang berperan besar pada pengkhianatan keji tersebut? Terperosok pada jurang yang terus tertawa keledai. Menghabiskan suara cuma-cuma.
Sampai kapan mereka yang berdiam terbutakan oleh tawa keledai mereka sendiri?.
Tak jarang arus bermuara pada kematian. Sekali lagi. Aku ingin bergerak. Karena aku rindu. Aku ingin melangkah sebelum aku lupa cara berjalan. Sebelum aku gila karena tertawa. Dan sebelum aku gila karena diam.

Sunday, August 26, 2007

Pembunuhan

tentang sekelompok pemuda yang berdiri di bawah gelap langit yang melilit. Mereka mengusung berbagai macam senjata tajam yang bermata lidah. Caping-caping yang mereka kenakan membuat bayang gelap di sebagian wajahnya hingga nampak menjadi sebuah kedok. Apa yang mereka bicarakan malam itu adalah tentang sebuah rencana pembunuhan. Seorang pemuda yang bertubuh kurus dan pendek berbicara, "Bunuh dulu! baru kita arak ke kampung-kampung". Lalu pemuda yang satu lagi berkata, "Tidak! Sebaiknya kita arak ke seluruh kampung, baru setelah itu kita eksekusi". Pemuda yang ketiga mendukung pendapat pemuda yang pertama, "Benar! Sebaiknya kita bunuh dulu agar lebih mudah". Tiba-tiba pemuda ke empat maju ke depan dan berbicara sedikit keras, "Biar mereka tahu dulu, apa akibatnya bila menjadi maling harta rakyat! Baru setelah itu kita bunuh!". Pemuda kelima yang juga merupakan pemuda terakhir sedikit bingung dalam memberi keputusan karena mereka berempat membentuk masing-masing kelompok yang berlawanan pendapat.

"Lekas! Sebentar lagi fajar!", buru pemuda keempat.
Pemuda kelima masih menimbang-nimbang keputusan apa yang hendak di ambilnya. Sedangkan keempat kawannya sudah tak sabar lagi, "Aih! Sudahlah! Kau pilih saja salah satu! Kau yang memimpin bukan? Lekas beri keputusan!".
Pemuda kelima tersentak mendengar desakan kawan-kawannya. Tak urung lagi ia segera memberi keputusan, "Baik! Kita akan bunuh dulu, baru setelah itu tubuhnya kita arak keliling kampung!". Pemuda pertama dan kedua gembira mendengar keputusan pemuda kelima, sedangkan pemuda ketiga dan keempat sedikit kecewa. Namun keputusan telah di tetapkan, dan mereka harus bisa berlapang dada.
Lalu Pemuda kelima bertanya, "Dengan apa kita membunuhnya?".
pemuda pertama menjawab, "Dengan racun! Karena lebih aman!". Lalu pemuda kedua menimpali, "Benar! Kita masukkan saja ke dalam cangkir kopinya biar mampus seketika dia minum itu kopi!".
Tetapi pemuda ketiga lagi-lagi berpendapat lain, "Tidak, terlalu lama dengan racun! Lebih baik langsung tebas batang lehernya untuk mempercepat kematiannya!". Pemuda keempat mengangguk setuju.

Pemuda kedua menyanggah, "Tapi terlalu berbahaya bila kita membunuhnya secara langsung! Bisa jadi ketika akan di tebas, ia terbangun dan melawan kita!". Pemuda pertama mengiyakan.
Lalu pemuda keempat naik pitam, "Membunuh dengan racun tak menjamin dia bisa terbunuh! Salah-salah istrinya yang minum kopi itu!". Pemuda ketiga setuju dengan pendapat yang rasional ini. Lalu pemuda kelima memberi keputusan, "Hmmmm....baik! Kalau begitu kita akan langsung menyeruak masuk ke kamarnya dan menebas batang leher si tua keparat itu!".
Lalu pemuda kelima bertanya, "Hmm...lalu nanti setelah dia terbunuh, bagaimana cara kita mengaraknya?". Keempat pemuda yang selalu bersilang pendapat ini terdiam.
Lalu Pemuda pertama angkat bicara duluan, "Kita tusukkan kepalanya seperti sate di atas tombak agar orang-orang percaya dia telah mati!".
Pemuda kedua menambahkan, "Betul! Lagian, kita juga tidak perlu repot-repot membawanya...hanya mengangkat kepalanya saja! Tidak begitu berat".
"Aku tidak setuju!...agar mereka lebih percaya bahwa si tua keparat itu telah mati, lebih baik bangkainya kita seret saja dengan tali tambang!", Protes pemuda ketiga.
Pemuda keempat sependapat dengan pemuda ketiga, "Dia benar...dengan begitu orang-orang kampung dapat sesuka hatinya meludahi bangkainya".

Pemuda kelima merenung sejenak. Pendapat kedua kelompok ini masuk akal semua. Tapi dia tahu tak boleh berpikir terlalu lama. Maka ia menjawab, "Kita seret saja tubuhnya!". Pemuda pertama dan kedua protes, "Akh...menguras tenaga kita saja!".
"Sudah cepat laksanakan!", Perintah pemuda kelima.
Ketika mereka berempat hendak bergerak menuju kerumah sasaran, pemuda keempat bertanya , "Siapa dulu di antara kita yang masuk? Lalu siapa yang akan menebas lehernya?"
Pemuda pertama menjawab, "Sebaiknya aku saja yang menebas lehernya. Aku mahir menggunakan pedang sedari kecil".
"Aku juga mahir menggunakan pedang! Sebaiknya aku saja!", Kata pemuda ketiga.
Pemuda kelima berpikir kembali. Sulit untuk memutuskan siapa di antara keduanya yang berhak menebas batang leher si sasaran. Lalu pemuda kelima berkata, "Baiklah...karena terjadi perselisihan antara keduanya, maka kalian berdua bertanding satu sama lain. Yang menang berhak menebas batang leher tua terkutuk itu!".

Lalu pemuda pertama dan ketiga bertanding pedang dengan seru. Tak terasa mereka telah bertarung selama berjam-jam dengan peluh dan debu melekat di tubuh mereka. Dan tak di sadari oleh kelima pemuda itu, fajar telah merekah. Langit terang. Orang-orang kembali beraktifitas seperti sehari-harinya.
Begitu sadar akan keadaan sekeliling, pemuda pertama dan ketiga segera menghentikan pertarungannya.
"Hari sudah terang!", Kata pemuda kelima.
"Lalu bagaimana ini?", Tanya pemuda kedua khawatir.
Di saat pemuda kelima berpikir lagi, di depan mereka terlihat sosok tua yang hendak mereka bunuh semalam tengah berjalan melewati mereka. Kelima pemuda tersebut tersenyum, dan sedikit membungkuk menghaturkan hormat kepada orang tua yang berlalu melewati mereka itu.
Pemuda keempat bertanya, "Lalu bagaimana selanjutnya?".
"Apa yang harus kita lakukan?", Pemuda kedua tampak kesal karena rencana pembunuhan semalam berantakan.
Sementara itu pemuda kelima kembali duduk di atas batu besar yang ada di dekatnya dan berpikir. Lalu tak lama kemudian ia berkata, "Baiklah....nanti malam kita susun rencana lagi".

Wednesday, August 8, 2007

Aku + Keluh Kesah Pecinta (feat Mr. Chairil Anwar)

aku bukan binatang jalang
aku hanyalah pengecut cinta yang malang
bukan karawang-bekasi aku harus menempuh
namun pada karawaci-cinere aku membilas peluh

bukan aku tak mau hidup seribu tahun lagi
tanpa cinta buat apa hidup barang sehari?
bukan kepada sri aku merindu
tapi kepada dia aku membujur kaku
hidupku tak hanya menunda kekalahan
tapi juga menunda cinta di hadapan

Pedih

seorang ksatria berbaju zirah hitam sekalipun
tak kuasa menahan pedih
di tolak cinta

Nekat

kau tolak cintaku
ku belah dadamu
kau benci diriku
ku curi hatimu

Tuesday, July 31, 2007

Kecewa

sulit sekali melukis wajahmu
berkali-kali kertas ku remas
ku hempas jauh-jauh
ku lempar pena
karena kecewa

Sunday, July 29, 2007

Buat Apa Kau Hidup?

Mati saja kau..!!

ster

aku baru saja mati
ruh ku melayang
mengutuki jasadnya sendiri
atas kesia-siaannya

kedua tangan
pikiran dan hati ini
dan sesuatu yang di hasilkan darinya
tak lebih dari seonggok kotoran anjing

Skak Ster

tolong dengarkan
apa yang baru saja kuciptakan

lupakan nak,
aku lebih suka kau melakukan hal yang lebih berguna

Skak Mat

dengarkan aku berceloteh
tentang sejuta mimpiku

lupakan nak,
aku lebih suka bekerja

Van Gogh Di Tengah Keidiotan Kehidupan

Dunia bisa tertinggal selangkah
dua langkah
tiga langkah
bahkan seratus ribu langkah
di belakangmu

hanya saja
mereka yang tertinggal
tak akan pernah bisa
memahami
ketertinggalan mereka

Naif

aku berbicara dengan bahasa
mereka menjawab dengan logika

aku berbicara tentang mimpi
mereka menjawab dengan realita

aku berbicara tentang sejuta cita-cita
mereka menjawab dengan satu pilihan

aku berbicara tentang kehidupanku
mereka menjawab dengan kematianku

Tewas

anjing liar mati
di tengah jalan
bukan di peti mati
atau di tempat tidur

anjing liar mati
terkapar busuk
tak kuasa melawan
dinginnya malam

Pahlawan

bila kau bertarung melawan zaman
dan kau kalah
setidaknya dirimu pernah berada di garis depan
menentang kehidupan

Bersulang!

bila jalan tak lagi berarah
hanya lurus lempeng belaka
dan manusia berjalan ke arah yang sama
sambil mengenakan kacamata kudanya
sedang dirimu tengah tertawan oleh mereka
maka segelas baygon menjadi teman dukamu yang terbaik

Friday, July 20, 2007

Restart

aku melihat permainan
aku ingin menjadi bagiannya

aku ingin mencobanya
aku ingin melebur ke dalamnya

aku tak punya waktu
untuk bermain

aku tak pernah punya
cukup waktu

permainan akan di tutup
di bongkar dan di tiadakan

padahal tiket sudah terbeli
dan baju baru sudah kupakai

semuanya musnah....
semuanya sia-sia...

padahal susah payah aku tidur cepat
menunggu hari ini tiba

padahal susah payah aku menabung
menunggu hari ini tiba

padahal susah payah aku bersabar
menunggu hari ini tiba

ternyata semuanya tak lebih dari
kebohongan halus semata

aku ingin bermain
aku ingin tiket bermainku kembali

Wednesday, July 18, 2007

Sepasang

Siapalah Cleopatra
sekiranya
duduk bersanding
dengan engkau?

Saripati

kuncup bunga mawar
mekar
di bawah rona
mentari

kupu-kupu datang
melayang
mengecup manis
selamat pagi

Pujangga

adakah shakespeare
merangkai sajak terindah
seindah engkau?

Sebilah

adakah teriris pisau
seperih ini?

Lampiran


sebutir debu masuk ke mataku

aku jatuh cinta padamu

Sunday, July 15, 2007

Surat Yang Tak Terkirim

secarik kertas dan
sebatang pena sebagai
teman laraku
di dada

pengusir sepi dan
penutup dinginnya malam

aku tercekik perih oleh
sebuah purnama
di jerat sinar-sinarnya
sampai menembus
relung hatiku

limbung dalam pelukan
bintang-bintangnya

aku ingin menulis seribu kata
bukan...
sejuta kata saja
tentang sepasang
tatapmu

dalam setiap kerdipnya
dengan sekejap kilaunya

lalu aku ingin melukis
selembar senyum
dengan gurat jariku
sendiri
dalam terpejam

kuleburkan warnamu dalam pelangi
namun tak pernah tercipta di kedua jariku

perlahan engkau terbentuk
dengan warna hitam
dan putih
oleh sebuah rangkaian
kata-kata

yang bergemuruh di dalam dadaku
dan ingin keluar dari jiwa yang rapuh ini

aku hanya ingin mengatakan
bahwa dirimu telah membawaku lari
jauh....
jauh sekali...
dari paradoks

yang menggerogoti tulang belulangku
dan mengoyak kulitku

aku hanya ingin mengatakan
bahwa dirimu telah membuatku
terlelap...
nyenyak sekali...
dalam buaian kabutmu

yang membuatku mabuk
dan tak sadarkan diri

aku hanya ingin mengatakan
tentang rangkaian kata
yang membentuk rupamu
perlahan dengan desis
di telingamu

tahukah kini kau, sayang?
aku terbujur kaku merindumu

Friday, June 29, 2007

Infus

aku tergurat oleh jarimu
terima kasih

jujur membunuhku
meremukkanku

balut lukaku
dengan sejuta dustamu

buat aku terus hidup
walau menyakitkan bagiku

Inihari

Senyumnya tidak simetris. Bola matanya berlawanan arah saat bicara. Malas dia beradu pandang. Tidak banyak bicara. Mungkin mencibir. Memuji pun palsu. Di sembunyikan dalam tawanya. Egonya masih seperti dulu. Malah kian menjadi. Karena aku meneropong ke dalam dadanya. Kata-katanya di samarkan sesamar mungkin. Karena sesungguhnya lidahnya berapi. Akh. Membunuh perlahan. Ciri khas seorang Pro. Membiarkan mati sendiri. Tenggelam dalam lautan tak acuh. Sendiri. Sepi. Gelap. Mencekam. Di makan Hiu. Mungkin ia berada di seberang bersama yang lainnya. Tertawa cekikikan. Menonton kematian seorang pria yang telanjang bulat.
kamu juga?

Menjadi Siapa?

menjadi bukan siapa-siapa
pernahkah kau rasakan?
menjadi siapa-siapa
seringkali kau damba

menjadi siapa-siapa
kata mereka lebih berarti
daripada menjadi
bukan siapa-siapa

saat menjadi siapa
rasakan sejuknya
decak kagum mereka
padamu

cobalah, sayang...
cobalah sejenak
untuk menjadi
bukan siapa-siapa

lalu rasakanlah
pedihnya
picingan mata memandang
pada seonggok kotoran
yaitu dirimu


tolol

Jancuk

aku naik becak pulang marching band
menantang arah
matahari merah
saat langit akan terlelap pulas
menyusuri jalanan beraspal
di tengah kerumunan yang menyoraki kami
aku, dia dan dia

terlalu lelah berjalan
setelah lima kilometer
mengapalkan kaki
menggosongkan kulit
peluh di kepala mengalir deras
di pipi yang merah terbakar
kami memainkan musik ibukota
walau kami tak pernah menginjak ibukota

becak roda tiga menggiring kami pulang
yang di kayuh oleh seorang pria muda kasar
menyusuri aspal
melawan angin
di bawah matahari merah
dan sinar silaunya di barat

menikmati lagi
satu hari itu
dengan bahagia namun
tawa kami bertiga
terhenti tiba-tiba
oleh sebuah kata...
jancuk!

Wednesday, June 20, 2007

Abadi

nama-nama yang tak kenal waktu
nama-nama yang tak kenal ruang
yang tak lekang di makan zaman
yang kan di ceritakan anak cucuku nanti
pun anak cicit mereka
tentang dunia buas
yang telah kau taklukkan
dengan mimpimu
dan mimpinya

tentang kedua tangan yang bertautan
tentang kedua tubuh yang berdekapan
tentang kaki-kaki yang melepuh
tentang tetes darah dan air mata
yang tak kunjung kering meski
kemarau merongrong
seisi bumi

tergurat dalam batin
sampai kiamat menjemput
abadi...

Tuesday, June 12, 2007

Tentang Kota Yang Mengandung 9 Bulan

sebuah kota yang melahirkan benih kehancuran
sebuah kota yang melahirkan benih keserakahan
sebuah kota yang melahirkan benih kekerasan
sebuah kota yang melahirkan benih kemunafikan
sebuah kota yang melahirkan benih kesesatan
sebuah kota yang melahirkan benih kebiadaban
sebuah kota yang melahirkan benih kedengkian
sebuah kota yang melahirkan benih kesombongan
sebuah kota yang melahirkan benih perpecahan
sebuah kota yang melahirkan benih perceraian
sebuah kota yang melahirkan benih permusuhan
sebuah kota yang melahirkan benih pelacuran
sebuah kota yang melahirkan benih pengkhianatan
sebuah kota yang melahirkan benih pemerkosaan
sebuah kota yang melahirkan monster-monster kecil
sebuah kota yang melahirkan ibu-ibu monster
sebuah kota yang melahirkan bapak-bapak monster
sebuah kota yang melahirkan adik-adik monster
sebuah kota yang melahirkan kakak-kakak monster
sebuah kota yang melahirkan nenek-nenek monster
sebuah kota yang melahirkan kakek-kakek monster
sebuah kota yang melahirkan cucu-cucu monster
sebuah kota yang melahirkan cicit-cicit monster
sebuah kota yang melahirkan penjajah-penjajah
sebuah kota yang melahirkan pembunuh-pembunuh
sebuah kota yang melahirkan pelacur-pelacur
sebuah kota yang melahirkan perut-perut tambun
sebuah kota yang melahirkan mata-mata sayu
sebuah kota yang melahirkan tubuh kurus kering
sebuah kota yang melahirkan kelaparan
sebuah kota yang melahirkan kehausan
sebuah kota yang melahirkan ketegaan
sebuah kota yang melahirkan kebinatangan
sebuah kota yang melahirkan kesintingan
sebuah kota yang melahirkan kekotoran
sebuah kota yang melahirkan kebuasan
sebuah kota yang melahirkan kecemasan
sebuah kota yang melahirkan darah

sebuah kota yang tak mengenal persaudaraan
sebuah kota yang tak mengenal pertemanan
sebuah kota yang tak mengenal persahabatan
sebuah kota yang tak mengenal pertetanggaan
sebuah kota yang tak mengenal persepupuan
sebuah kota yang tak mengenal perkeponakan
sebuah kota yang tak mengenal percucuan
sebuah kota yang tak mengenal peristrian
sebuah kota yang tak mengenal persuamian
sebuah kota yang tak mengenal peribuan
sebuah kota yang tak mengenal perbapakan
sebuah kota yang tak mengenal pernenekan
sebuah kota yang tak mengenal perkakekan
sebuah kota yang tak mengenal percucuan
sebuah kota yang tak mengenal percicitan
sebuah kota yang tak mengenal perkakakan
sebuah kota yang tak mengenal peradikan
sebuah kota yang tak mengenal perbibian
sebuah kota yang tak mengenal perpamanan
sebuah kota yang tak mengenal permantuan
sebuah kota yang tak mengenal permertuaan
sebuah kota yang tak mengenal permoyangan
sebuah kota yang tak mengenal perkenalan
sebuah kota yang tak mengenal perjumpaan
sebuah kota yang tak mengenal perpisahan
sebuah kota yang tak mengenal persekutuan
sebuah kota yang tak mengenal siapapun

Monday, June 11, 2007

skeptis

bila kau bertanya apakah seutas tali itu cukup kuat mengikat tubuh kita berdua.
jawabannya ada pada sebilah pedang yang tajam.

batu

kami terlahir sebagai batu
punya lidah setajam kapak batu
punya hati sekeras batu

kami terlahir sebagai batu
tak sudi kami mengalah
lebih baik mengadu

kami terlahir sebagai batu
hidup di negeri batu
mati pun membatu

Kanon Dan Selembar Gambar

aku bermain bara dalam sebuah malam
panasnya dapat memberangus tubuhku
pijarnya dapat melumerkan tanganku
dan mematikan diriku
juga dirinya

aku menyalakan sumbu setinggi 1 mili
sumbu sebuah kanon
yang kuhadapkan pada diriku sendiri
siap meledak setiap saat
menghancurkan diriku
juga dirinya

bom waktu yang kupeluk erat
mulai menyalakan setiap jengkal detiknya
menghampiri kehampaan ruang dan waktu
membawaku bersamanya
ke dalam dimensi
yang tak bisa kembali

tengik!
arahkan kepada kami seribu moncong kanon
seratus ribu pedang terhunus
sejuta panah beracun
dan semilyar granat tangan
pun
kami tak kan mati!

aku hidup dengan seribu nyawaku
dia hidup dengan segenap jiwanya
kami sepasang zombie yang abadi
seperti jesse james dan frank james
yang tertawa dalam cawan arak yang sama
yang terbatuk-batuk tersedak waktu

pernah kukatakan dalam syairku
di bawah rembulan kami mengeluh
di bawah mentari kami terlelap
di bawah senja kami melambaikan tangan
semuanya di sertai menenggak
arak kepongahan yang sama
bersulang!

limbung jalan kami karena bahagia
menghirup bersama getirnya kenyataan
lalu memuntahkan kembali kehidupan
tak pernah berfikir untuk menelannya kembali
kami bagai pelaut yang terombang ambing di samudera
dalam pekat malam tanpa gemintang

namun...
cawan arak kami begitu rapuh
sesungguhnya
dapat pecah kapan saja
oleh satu sosok
yang tak nyata
asalkan kau jeli, kawan

selembar gambar
membiusnya menjadi seorang mutan
cakarnya dapat mencengkeram lehermu
setiap waktu
kuku-kukunya mampu merobek kulitmu
lidahnya menjadi anak panah
siap menghujam dadamu

mata pun gelap
jiwa tak lagi bening
kepala serasa pusing
di penuhi trik-trik biadab
untuk membunuh
darah dagingmu sendiri

kata yang tersamar
bagai bola meriam yang menggelegar keras
mampu meluluh lantahkan benteng perang
menjadi pasir
memisahkan kepala, tangan, dan kaki
kau sanggup di buatnya tak berbentuk lagi
bahkan dirimu tak sanggup mengenali
bangkaimu sendiri

segala bentuk memoar lenyap di telan amarahnya
tak menyisakan satu pun
bagai badai satu menit
bagai tsunami seperempat jam
bagai gempa 20 skala ritcher sekelebat mata
semuanya lenyap tak berbekas
kecuali benci...

di bawah purnama kami menangis bersama
di bawah purnama kami tergelak bersama
di bawah purnama kami terlelap bersama
di bawah purnama kami menggigil bersama
di bawah purnama kami bercumbu bersama
di bawah purnama pula
kami saling membunuh

dalam rimba persilatan
hanya karena satu kitab
darah segar begitu murah di obral

dalam rimba kehidupan
hanya karena selembar gambar
sebuah ikatan sedemikian mudah di putuskan

tak peduli berapa juta tahun kau hidup bersamanya
selembar gambar dapat memisahkanmu
selama-lamanya...

Monday, May 28, 2007

pengkhianat

tiga kameradku mati di tikam belati
dari dalam selimut tidurnya
mereka berdua menggelepar kesakitan
menjerit sejadi-jadinya
lalu terkapar tak bernyawa

tuannya ingkar
suaranya bungkam
berbalik badan
palingkan muka
mencuci tangannya sendiri

pengkhianaaaaaaaaaaaaaat....!!!!
aku berteriak sekuat tenaga

siapa lagi yang harus kau yakini?
siapa lagi yang harus ku yakini?
tak seorang pun
melainkan dirimu sendiri
dan belati di tanganmu

lupakan tuanmu!
lupakan kata mutiaranya!
lupakan sosoknya!
lupakan segala kenanganmu bersamanya!
lupakan semuanya!

mulai saat ini
kau sendiri

Saturday, May 26, 2007

Roman Ilusi

sebutir peluru menembus pangkal lenganmu
kupikir saat itu semua baik-baik saja
karena ratusan lainnya
melesat!
hanya kepadaku seorang

"apakah aku akan mati?" katamu
"engkau akan baik-baik saja" kataku

engkau terluka teramat parah
seperti adegan dalam film laga
namun air matamu nyata
darahmu pun nyata
rambutmu yang kubelai pun nyata

Wednesday, May 9, 2007

Analogi Waktu

Jika seandainya waktu adalah uang
maka tak segan bagiku

'tuk menghamburkannya
atas nama kekayaan

'tuk menukarnya
atas nama sesuap nasi

bahkan tak usah memperdulikannya
atas nama senasib seperjuangan

Karena ada sebuah pepatah mengatakan
'makan gak makan asal kumpul'

Namun seandainya waktu adalah pedang
maka siapa yang bersedia
mati konyol
di hunus
olehnya?

Sunday, May 6, 2007

Tangan Brutus

Dentang lonceng ke dua belas adalah saat kematian sang Pangeran. Di saat tangannya yang kiri mencekik lehernya sendiri. Nyawa sudah di ujung kerongkongan. Namun sang Pangeran masih enggan untuk memuntahkannya agar ia terbebas.
Di cabutnya belati yang ada di pinggangnya. Hendak di potongnya tangannya yang kiri itu. Baru saja belati di angkat ke atas, air mata menggenangi mata Pangeran. Haruskah ia merelakan sebelah tangannya yang kesetanan?. Bukankah itu sama saja melukai dirinya sendiri?. Wajahnya mulai membiru. Bola matanya mulai terselip ke atas. Belati di genggam kuat di tangan kanan siap untuk menebas tangan kiri. Sedang tangan kiri terus mencekik kian keras tanpa ampun leher sang Pangeran. Rentetan memori yang pernah di alami nya mulai bergerak hidup kembali di kepalanya. Ajal kian mendekat.
Tanpa pikir panjang Pangeran segera mengiris jari telunjuk tangan kirinya sebagai peringatan. Ia berteriak sendiri sejadi-jadinya. Namun cengkraman tangan kirinya malah semakin kuat.
Tanpa pikir panjang di irisnya lagi jari tengah tangan kirinya itu. Ia meronta sambil menjerit keras bagai orang kesurupan.
Ia berteriak minta tolong, namun tak ada yang bersedia datang menolongnya. Entah apakah mereka sebenarnya sudah menunggu lama kematian sang Pangeran muda itu?.
Leher Pangeran masih di gelayuti cengkraman ganas tangan kiri nya sendiri. Akhirnya ia pun tak tahan. Di potongnya satu persatu jari di tangan kirinya hingga tak tersisa lagi satu pun. Tak ada jalan lain menurutnya. Bagaimanapun juga ia harus tetap hidup untuk menggerakkan laju kehidupan di dunia ini.
Ia berguling di lantai dengan darah segar tercecer kemana-mana. Meraung-raung bagai singa yang terluka. Air mata yang membasahi pipi sebagai representasi rasa sakit dan penyesalannya yang amat sangat akan keputusannya menebas tanpa sisa seluruh jari di tangan kirinya.
Para pelayan istana yang dari tadi menyaksikan pemandangan itu perlahan bergerak maju. Mereka merasa iba juga pada keadaan yang menimpa Pangeran muda mereka.
Pangeran menjerit ke edanan. Tanpa di duga ia berdiri lalu menebas serampangan ke arah mereka. Akibatnya beberapa pelayan musti rela tergorok batang lehernya.
Pangeran berdiri dengan kaki gemetar menatap ke arah mereka semua dengan sorot mata jijik. Belati di genggaman tangan kanannya berlumur darah. Mayat para pelayan istana yang terkapar. Bau anyir memenuhi balairung istana.
Dari pandangannya terlihat jelas Pangeran tak butuh di kasihani. Baginya mungkin tak ada yang dapat di percaya lagi. Mereka tak ubahnya bagai tangan kirinya yang baru saja melakukan percobaan pembunuhan kepadanya. Sama saja. Karena itu ia harus membunuh mereka semua satu persatu. Baginya, hanya belatinyalah teman kepercayaannya.


Di bawah purnama menenggak tuak bersama
Denting gelas beradu dalam tawa
Menyambut pagi yang tak pernah ada
Sekisah tangan yang mencengkeram nyata
Menjadi realita pengkhianatan terbesar
Setelah yang dilakukan Duan Xiaolou dan Cheng Dieyi
Anjing-anjing yang lapar
Anjing-anjing yang lapar
Menjadi santap antar sesama
Lebih baik hidup
Barang sebentar
Mengisahkan apa arti hidup
Walau sebentar
Anjing-anjing yang lapar
Anjing-anjing yang lapar
Menjadi santapan antar sesama
Lebih baik mati
Dalam sendiri
Dalam lapar
Sebagai martir keteguhan hati
Bukan penjilat
Bukan pengecut
Bukan pula sebagai Vultures yang terhormat

Friday, May 4, 2007

Sajak Omong Kosong

Aku ingin berbicara tentang rakyat kecil
Tapi bagaimana bisa,
Aku tak pernah menjadi rakyat kecil

Aku ingin berbicara tentang kemiskinan
Tapi bagaimana mungkin,
Aku hidup bergelimang harta

Aku ingin berbicara tentang Revolusi
Tapi bagaimana bisa,
Melihat darah saja aku pingsan

Aku ingin berbicara tentang anti kemapanan
Tapi bagaimana mungkin,
Aku menikmati kemewahan ini

Aku ingin berbicara mengenai persamaan hak
Tapi bagaimana mungkin,
Aku masih memandang rendah manusia-manusia di bawahku

Aku ingin merakyat
Tapi bagaimana bisa,
Aku tak tahan pada bau keringat manusia

Aku ingin melakukan perlawanan
Tapi bagaimana mungkin,
Mendengar bunyi petasan saja jantungku hampir copot

Aku ingin berbicara yang lantang
Tapi bagaimana bisa,
Aku bisu sejak dulu

Wednesday, May 2, 2007

Cerita Petang

Remang petang
Belalang terbang
Remang petang
Rumput ilalang

Remang petang
Layang-layang terbang
Remang petang
Awan hilang

Remang petang
azan berkumandang
Remang petang
Bapak pulang

Remang petang
Lampu terang
Remang petang
Tenang datang

Remang petang
Jangkrik riang
Remang petang
Tak ada perang

Remang petang
Baju kutang
Remang petang
Emak senang

Hati...Hati...

Lagi-lagi kau mencoba bermain hati
hati di dada bagimu bagai bola bekel
kau memainkannya tanpa hati-hati
hingga hati senantiasa resah 'kan tingkahmu

Tuesday, May 1, 2007

Gumam...Gumam....Gumam....

mbak, mengapa sih dunia penuh dengan wanita?
cantik-cantik pisan euy...
kata orang kini jumlah wanita di dunia lebih banyak di banding laki-laki
bahkan yang laki-laki pun banyak yang menjadi wanita
ada apa ya mbak?
apakah sudah saatnya para wanita melumat para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita memperkosa para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita membunuh para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita memimpin para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita mengebiri para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita melecehkan para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita mengubur para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita meludahi para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita mensodomi para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita menggerayangi para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita menggagahi para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita memperbudak para lelaki?
apakah sudah saatnya para wanita menghamili para lelaki?
aku ngeri mbak,...
tapi aku rela kalau di lumat sama mbak
tapi aku rela kalau di perkosa sama mbak
tapi aku rela kalau di bunuh sama mbak
tapi aku rela kalau di pimpin sama mbak
tapi aku rela kalau di kebiri sama mbak (tapi sebelum di kebiri di coba dulu ya)
tapi aku rela kalau di lecehkan sama mbak
tapi aku rela kalau di kubur sama mbak
tapi aku rela kalau di ludahi sama mbak
tapi aku rela kalau di sodomi sama mbak
tapi aku rela kalau di gerayangi sama mbak
tapi aku rela kalau di gagahi sama mbak
tapi aku rela kalau di perbudak sama mbak
tapi aku rela kalau di hamili sama mbak
cukup sama mbak seorang
mbakku sayang

Gigolo Anyaran

Seorang bajingan tengah terkapar mati di tengah jalan
tertusuk garpu tepat di lehernya
di tangan kanannya tergenggam sendok makan
sedangkan sosis segar ada di tangan kirinya

Mulutnya menganga mengeluarkan cairan
anusnya memanjang seribu meter lebih
menjulang ke langit yang kuning
di saat waktu adalah nol

Si keparat muncul dari belakang tembok
menangis sesenggukan di samping jasadnya
berjalan jinjit membelakangi arah
jam tangannya yang memaksanya begitu

Sosis di kunyah perlahan sedang mulut mengatup
tanah di kais dengan sendok di tangan
sperma di keringkan lalu di jual
mulut ternganga masih ada sisa di sana

Thursday, April 19, 2007

Kemul

Ada waktu yang berlalu dalam dimensi yang tak biasa. Saat kemul itu ku buka dan kutemukan sepasang dadamu yang menyembul nyata. Tidak. Bukan bermaksud untuk menyetubuhimu. Semua karena sebuah catatan kecil yang hilang bersama selembar jaket usang. Di mana seharusnya telah berpisah meninggalkanmu sendiri di atas ranjang berkemul tipis itu. Beruntung benda senilai seratus nyawa itu tak jadi lenyap di telan bumi. Mungkin juga ini suatu keberhasilan yang pertama sebelum diri kembali ke cangkang. Dengan catatan kecil yang ada di tangan ini. Sejuta kisah akan hadir ke dunia. Tentang nyata. Yang di balut kemulmu itu.

Friday, March 23, 2007

Objektivasi Diri Dalam Ilusi Part 4

Siapa yang bersanding rapat denganku malam itu?. Duduk di jok tengah sebuah mobil yang melaju. aku berada di tengah. Sosok yang kukenal di sebelah kiriku, dan sosokmu di sebelah kananku. Berkali-kali kau bisikkan kata-kata begitu dekat di pipiku. Dingin ludahmu menempel tak pernah kulupa. Aku juga tak mau kalah. Ku beri tanda di pipimu dengan jelas bahwa aku telah menemukan wujudku sendiri. Kau sebuah sosok tanpa nama. Tapi wujudmu terlihat jelas di otak ini. Masih melaju dalam gelap kita yang sedang duduk bersandingan. Gemerlap cahaya lampu jakarta yang kita lalui menambah hangat malam itu. Antara aku dan kau. Ini sajak yang kurangkai untuk dirimu yang ke empat yang tak pernah bisa kusentuh. Aku tak pernah berharap ini berakhir. Aku juga tak pernah tahu kapan ini akan berakhir. Mungkinkah ini berlangsung selamanya?. Jikalau memang harus begitu aku kan menikmatinya sampai ajal membawa tubuh rongsok ini ke liang kubur. Tapi ruh ku kan merindukan wujudmu selalu.
Nyatalah!
Nyatalah dalam pikiranku!
Nyatalah dalam hidupku!
Nyatalah dalam duniaku!
Nyatalah api kehidupanku!
Nyatalah engkau setetes embun di tengah kerontang sahara!
Basahi kerongkonganku yang tersedak!
Dalam panasnya cahaya matahari yang menyinari bumi, aku berharap malam menjemputku dengan siraman sinar rembulan
Engkau bintang yang tertutup tebalnya awan
Engkau matahari yang di tikam gerhana
Rintik hujan sesaat di musim kemarau akan lebih baik daripada hujan deras di musim penghujan
Mengapa tiada berkenan dirimu tuk menemuiku di kehidupan?
Aku sekarat di lilit akar bumi yang menghantui
Beri aku penawar racun!
Aku sekarat!
Beri aku penawarnya sekarang juga!
Aku sekarat!
Engkaulah sang pemilik penawar itu
Dirimulah penawar racunku yang mengoyak jiwaku
Aku yang meracuni diri pun berharap dapat terus hidup bersama dirimu
Sebutir racun yang ku telan cukup untuk membunuh sejuta bala tentara Abrahah
Namun hanya ku simpan untuk diriku sendiri
Ku seduh hanya untuk diriku sendiri
Kuminum di kala sore hari dan rintik hujan turun ke bumi sambil duduk di dekat jendela
mendengarkan kicau burung-burung kecil yang terbang kesana kemari
Bersama dirimu di hadapanku yang tersenyum manis
Yang siap melihat kematian mendatangiku
Saat ku tercekik di hirupan pertama
Memegang kencang kedua leherku sendiri
Mulutku yang mengeluarkan busa
Mataku yang membelalak
Kemudian aku terjatuh dari kursi
Aku berlutut sejenak di hadapanmu
Lalu aku terbaring di hadapanmu seketika
Setelah itu kau akan membangunkanku dengan lembut
Dengan suara putihmu
Suara yang bernyanyi merdu di telingaku
Mengiringi pergi ku
Engkau si penawar racun
Yang ku nanti dalam dudukku selalu
Datanglah di saat malam
Dan jangan pergi di saat fajar
Aku tak kuasa menahan rinduku
Mari kita berjumpa

Wednesday, March 21, 2007

Nama

Namamu yang ku pekikkan di tiap malam
Bersama gumpalan jantungku yang hendak melompat keluar
Dan aliran darah di seluruh penjuru tubuh yang hendak meledak
Dengan suara lantang tanpa suara
Namamu
Untuk saat ini
Hanya namamu seorang...

Sunday, March 11, 2007

Sirkus Kota

Kami berjalan telanjang di sepanjang jalan ini
Tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami
Semua mata menatap ke arah kami
Melihat ke arah kemaluan kami yang hanya di tutupi dengan kedua tangan kosong masing-masing
Angin begitu kencang
Debu beterbangan
Terkadang kami harus mengusap mata dengan sebelah tangan
Sedang yang sebelahnya lagi tetap berusaha menutupi kehormatan kami
Kami tak sanggup menatap ke depan lagi
Pandangan ini semakin kabur
Debu-debu yang melekat di mata kami semakin banyak
Kami hanya bisa menatap dan meludah antar sesama
Di selimuti riuh sorak sorai penonton yang melihat kami
Semua telinga ingin mendengar apa yang kami tengah lakukan
Polah lucu apa lagi kiranya yang akan kami perbuat
Kami tak dapat menemukan sepotong atau dua potong kain untuk membalut tubuh
Kami hanya bisa berjalan berpelukan saling menempel erat agar mereka tak dapat melihat kemaluan kami
Lidah-lidah kami begitu panjang sehingga sulit untuk berbicara
melingkar di leher masing-masing hingga mencekik kencang-kencang
Mata kami saling bertolak tatap
Seumur hidup, kami terus berjalan telanjang
Anehnya kami tidak lagi merasa malu
Persetan dengan mereka yang berpakaian
Bahkan makhluk-makhluk di bumi ini pun sebagian besar telanjang
Kemaluan ini bukan lagi sesuatu yang tabu
Biarkan mereka melihat apa-apa yang ada di tubuh ini
Toh mereka juga mendapati dirinya sebenarnya di balik ketat balutan kain di tubuh mereka
Hanya selapis kain yang membedakannya
Matahari dengan sinarnya yang terik membuat kami berjalan merayap
Bulan dengan sinarnya yang lembut membuat kami terlelap
Beristirahat malam ini
Belum tentu esok kami bisa tidur pulas lagi seperti ini
Karena lidah-lidah yang melilit di leher kami semakin panjang
Dan mata-mata yang membelalak di antara kami semakin kentara
Lalu di tangan masing-masing ada belati yang tersembunyi

Saturday, March 10, 2007

Purnama Sembunyi Tanpa Gemintang

Langit sore ini bagai rona mawar merah yang merekah
Aku mengatakannya pada malam pekat tanpa bulan
Bintang-bintang mungil yang tak terlihat lagi dengan kasat mata
Aku merangkainya hanya untuk dirimu yang mengintip jendela kamarku
Satu rupa rembulan tanpa gemintang yang menghiasinya
Begitulah aku memanggilmu
Di tengah padang rumput yang luas ini
Tentunya dengan semilir angin yang bertiup membuat suasana makin romantis
Rindu akan sosok tanpa aroma bunga yang melintas
Seandainya kau dapat memahaminya
Seandainya saja...

X

Suatu X pernah mencoba hidup berdampingan dengan kawan sesukunya. Untuk apa dia hidup, dia tidak pernah mengetahuinya. Yang ia tahu, hanyalah terbangun di suatu tempat. Yaitu tempat ini. Dan ia harus senantiasa siap untuk di gunakan. Dirasanya hidup berdampingan dengan sesamanya tiada nyaman. Rikuh. Tak pernah cocok bila di sandingkan dengan siapa pun. Ia tak pernah terbaca di negeri ini. Tiada yang pasti menyebut namanya. Membuatnya menjadi ragu akan keeksisan dirinya. Ia sesungguhnya tidak berbunyi. Tidak mendesis sedikit pun. Lalu untuk apa ia hidup di negeri ini?. Bukanlah suatu kesalahan apabila ingin melenyapkannya. Karena sesungguhnya ia adalah tiada. Tak pernah di lahirkan. Apalagi di ciptakan. Ia pun sebenarnya sadar. Dan harus segera memutuskan apa yang akan di lakukannya. Lalu ia berdiri di suatu tempat yang lain. Berdiri sendiri di tempat yang berbeda. Menjadi X yang sendiri. Bukan X yang hidup bersama. X memang harus sendiri.

Wednesday, February 28, 2007

Pemakan Jantung

Terlihat kerumunan manusia berkumpul di tengah lapangan di mana di sekitarnya berdiri tegap gedung-gedung pencakar langit. Kerumunan tersebut begitu padat membentuk lingkaran. mereka tengah menyaksikan sesuatu. Baik tua maupun muda berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, saling sikut, dan saling jinjit hanya untuk melihat yang tengah terjadi di sore itu. Anak-anak kecil dengan gesitnya menembus kerumunan tersebut melalui sela-sela kaki dan pinggang orang-orang dewasa hingga bukan mustahil pada akhirnya para anak kecil ini menjadi berdiri yang paling depan. Suatu pemandangan yang langka terjadi di metropolitan. Tidak sedikit pula kendaraan-kendaraan bermotor yang menepi sekedar melihat dari jauh apa yang tengah terjadi atau berhenti dan turun langsung untuk melihat di tengah lapangan tersebut. Pepohonan yang ada di sekitar pun harus rela dahan-dahannya di penuhi manusia. Begitu juga halnya dengan tiang-tiang listrik. Langit semakin merah. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Pemandangan yang terjadi saat itu begitu mengesankan bagi semua orang yang melihatnya.

Seorang bocah tengah mengoyak jantungnya sendiri dengan taring-taring tajam miliknya. Darah segar memuncrat saat gigitan pertamanya merobek merahnya nyawa kehidupannya sendiri. Percikan-percikan darah dari seonggok daging tersebut menghiasi sekitar mulutnya. Amis bukan kepalang baunya. Tapi bukan soal baginya. Orang-orang melihatnya seperti sebuah ritual khusus yang di lakukan bocah tersebut. Mereka mulai menggunjing. Menganggap bocah tersebut tidak lagi waras atau gila. Sedikit lagi seonggok daging yang ada di genggaman bocah tersebut habis di lahapnya. Sesekali dia tersedak saat menelannya karena terburu-buru. Ia sama sekali tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Secara tak sadar ia telah menjadikan dirinya menjadi sebuah tontonan yang menarik. Lebih menarik dari atraksi debus yang begitu-begitu saja. Ini spektakuler!.

Tak sedikit dari mereka yang muntah di tempat lalu segera beranjak pergi. Kerumunan bukannya semakin sedikit tapi malah semakin banyak. Seakan mengalir tanpa henti bagai air yang mengalir. Ada yang setia dari Ashar tadi menyaksikan yang di lakukan bocah tersebut. Ada pula yang datang sekedar untuk melihat apa yang terjadi lalu pergi lagi. Datang pula pemuka-pemuka agama setempat untuk melihat apa yang terjadi. Mereka haya bisa mengurut dada dan terus beristighfar. Tak ada yang berani untuk menghentikannya.
Sungguh aneh. Onggokan daging di tangan bocah tersebut itu apa benar jantungnya?. Sudah hampir tiga jam dia mengunyahnya tanpa henti. Tapi dada sebelah kirinya berlubang. Darah pekat terus-terusan mengalir tanpa henti. Bocah itu tak juga lemas. Di sebelah kakinya tergolek sebilah pisau dapur penuh darah. Nampaknya dengan pisau itulah ia menyayat dadanya lalu mengambil jantungnya sendiri. Semakin aneh. Jantung tersebut walaupun terlepas dari jasad si bocah tersebut namun tetap berdegup tanpa henti. Mengapa ia tidak mati?. Malahan bocah itu memakannya seperti kesetanan. Memakan sesuatu yang tak ada habis-habisnya. Lihatlah ia!. Makan dengan lahap di iringi adzan Maghrib yang tengah berkumandang.

Langit semakin gelap. Kerumunan semakin padat. Bahkan jalanan sudah menjadi tempat parkir bagi kendaraan bermotor. Semua orang turun ke jalan untuk menyaksikan kejadian di tanah lapang tersebut. Polisi pun sudah berdatangan sejak tadi. Namun sama seperti para pemuka agama tadi. Mereka hanya bisa menatapnya. Mereka tak dapat menghentikannya. Bukan karena mereka tak mau. Tapi tubuh mereka seakan beku tak dapat bergerak sedikitpun di dekatnya. Para wartawan pun mulai berdatangan meliput bocah yang masih asyik dengan santapannya itu. Malam itu siaran televisi di seluruh penjuru negeri menjadi sebuah liputan khusus atraksi bocah pemakan jantungnya sendiri. Suatu peristiwa abad ini!.

Apa sebenarnya yang ada di kepalanya?. Kejadian apakah yang baru saja menimpanya?. Apakah ia sedang kerasukan?. Tak henti-hentinya pertanyaan demi pertanyaan tersebut mengalir deras di kerumunan penonton. Namun mereka hanya bisa mengangkat bahu. Lalu beberapa menit kemudian pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang lagi. Dan lagi-lagi mereka semuanya hanya bisa mengangkat bahunya masing-masing. Mengapa tidak ada yang mau mendekat?. Mengapa tidak ada yang mau menyelamatkannya?. Apa yang terjadi bila ia menghabiskan jantungnya?. Apakah ia akan benar-benar mati?. Ataukah ia masih hidup dan mengeluarkan isi tubuhnya yang lain?. Paru-parunya misalnya?. Mereka yang melihatnya sama sekali tidak mengerti. Jantung yang tinggal seperempat itu, apakah masih berfungsi apabila di letakkan kembali ke tempat asalnya?.
"Lakukan! Lakukan!". Bocah tersebut menatap tajam ke sekelilingnya. Ia memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama dengan dirinya. "Lakukan! Lakukan!", suaranya lantang. Ia membelalakkan matanya, seakan mau keluar. Tangannya yang berlumur darah menunjuk ke arah orang-orang di sekitarnya. "Lakukan! Lakukan!". Mereka yang berdiri di dekat bocah tersebut mulai sedikit ngeri dan mundur perlahan. "Cepat lakukan!". Mereka yang menonton hanya terbengong-bengong. Tak tahu mengapa ia menyuruh mereka melakukan hal yang sama dengannya. Bocah itu berdiri perlahan, jantungnya belum habis di lahapnya. "Lakukan!". Sekali lagi ia menyuruh mereka untuk berbuat seperti dirinya.

Mereka yang menonton mulai ketakutan. tak terkecuali para polisi, wartawan, dan pemuka agama. Mereka mundur perlahan-lahan. Setiap kali bocah tersebut berteriak, pasti dari mulutnya memercikkan darah. "Lakukan! Cepat!".
Saat itu, ada seorang pria setengah baya keluar dari kerumunan dan mendekat ke arah bocah tersebut. Ia berjalan perlahan ke arahnya. Sedikit takut dan ragu-ragu. Tubuhnya sedikit gemetar. Bocah tersebut nampak senang melihatnya. Lalu ia meraih pisau yang tergolek di tanah dan memberikannya pada salah pria tersebut. "Ini! Ambillah!".
Tangan pria itu meraih pisau yang di berikan oleh si bocah. Setelah pisau ada di genggamannya, tak di sangka ia melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan bocah itu. Ia menusuk dadanya sendiri. Menyayat-nyayat. Lalu merobeknya hingga membuat lubang yang ternganga di dada kirinya. Ia menjerit keras. Penonton seakan tak percaya pria setengah baya tersebut akan melakukan hal gila tersebut.

Lalu dari lubang di dada kiri pria tersebut nampak sebuah daging yang gemuk dan merah. Daging tersebut berdegup. Itu jantungnya.
Lalu ia segera meraih jantungnya dengan tangan kanannya. Dan menariknya kencang-kencang hingga terlepas. Di makannya jantung tersebut. Sama seperti bocah itu. Pria setengah baya tersebut mengikuti apa yang di perintahkan oleh bocah itu. Ia makan dengan lahap. Mulutnya berlumur darah. Ia mengoyaknya tanpa henti. Ia tampak menikmatinya. Memakannya sambil duduk bersila di temani bocah itu.
Mereka yang menonton terheran-heran. Apakah seenak itu jantung kita?. Tak lama kemudian salah seorang lagi mendekati kedua pemakan jantung tersebut dan melakukan hal yang sama seperti mereka. Satu persatu dari mereka pun turut mencobanya. Seorang. Dua orang. Tiga orang. Empat orang. Dan seterusnya. Ada sekitar dua ratus ribu manusia yang mengelilingi mereka. Sedikit demi sedikit mereka tidak lagi menjadi penonton penyantap jantung sendiri itu. Melainkan mereka pun turut mencobanya. Tak terkecuali pula para polisi, wartawan, pemuka-pemuka agama, bahkan anak-anak kecil. Nikmat sekali. Di bawah terang bulan purnama sambil menyantap jantung sendiri. Suatu pengalaman yang tak akan terlupakan. Bersama dua ratus ribu orang di sini. Menggelar pesta rakyat dadakan. Mungkin mereka yang di rumah masing-masing pun kini tengah mencobanya. Menu makan malam hari bersama keluarga adalah jantung sendiri. Bagaimana kalau di goreng?. Di panggang mungkin?. Apakah akan sama enaknya dengan memakan mentah?. Semua harus mencobanya. Seluruh manusia di dunia harus mencobanya.

Tuesday, February 27, 2007

Komando Abad 20

Titik-titik dalam lingkaran mulai bergerak
ratusan ribu bahkan jutaan titik yang tersebar
mengusung tinggi-tinggi papan sub lingkarannya masing-masing
sedang sang kaisar tengah termangu di kursi besarnya

Titik-titik dalam lingkaran siap melumat enam juta titik lainnya
andaikata mereka bergerak pada arah yang sama
maka tiada lagi titik-titik yang terpencar
melainkan menjadi gumpalan raksasa yang berwarna hitam

Di lain tempat barisan panjang pasukan merah melakukan long march
di bawah komando Paman Berwajah Ramah yang telah almarhum
para aristokrat di seberang tersenyum sinis menatap mereka
sebentar lagi dunia bergolak