Wednesday, January 31, 2007

Imigrasi

Melangkah berat
menuju hamparan
meninggalkan
kampung halaman

Berjalan tegar
menuju waktu
meninggalkan
celoteh kangen

Aku yang di seberang
kan menunggu
kedatanganmu
di bawah rimbun palem

Kan kurindu
saat dulu
kala waktu
sebelum layu

Aku pun harus sendiri
belajar mandiri
berjalan ringkih
ikuti jejakmu

Suatu waktu
kita kan bertemu
kala rindu
datang mengadu

Bom Waktu

Kembali ke 4 detik yang lalu
saat lampu masih di nyalakan
jam masih di detakkan
hari masih pagi

Kini pecah menjadi kepingan
bertebaran
yang tak mungkin kembali lagi
kemudian menjadi sesal
sesal
sesal dan
sesal

Selamat tinggal

Tuesday, January 30, 2007

Bayi (Part 2)

Aku terus bertanya pada diri. Sebenarnya apa yang tengah terjadi padanya. Ia menjawab kalau kini ia tengah di kepung oleh sekelompok bandit. Tiap-tiap bandit itu menodongkan pedangnya yang memiliki warna gagang berbeda dengan yang lainnya. Tiap-tiap ujung pedangnya berada setengah milimeter dari leherku. Aku dapat merasakan kilau tajam pedang-pedang tersebut. Walau ada beberapa yang ku rasa tumpul, bahkan tak bermata sama sekali. Aku dan ia tengah berdiri tegak bagai patung batu yang tak bergerak. Sedikit saja kami bergerak, maka kami akan tertusuk. Sungguh mengerikan. Padahal aku bukanlah siapa-siapa. Baru belajar berdiri di atas bumi ini. Berjalan pun pincang. Lain halnya dengan ia. Ia yang hidup berhias gelimang kehormatan. Ideologi.
Sebuah harta yang tak ternilai. Sebuah gerak pemikiran yang egosentris. Sebuah kehormatan. Yakni harga diri. Menjualnya berarti pelacur. Mengabaikannya berarti terasing. Melupakannya berarti pendusta. Kapal di belakangmu telah kau bakar habis. Di hadapanmu ada sejuta prajurit bersenjata tengah menanti tuk menghabisimu. Mundur berarti mati dalam kehina dinaan dan kesia-siaan. Maju berarti mati terhormat dan penuh makna. Hidup berarti keagungan. Logika telah mati berjalan. Berapa persentase kemampuanmu tuk bernafas?.
Hanya 30% atau 40% saja. Bahkan aku yakin kurang dari itu.

Kacau. Benar-benar kacau.

Haruskah menjadi seorang pelacur atau pendusta?. Jawablah. Aku ingin menjadi keduanya. Bukan karena aku ingin. Tapi aku terlalu takut. Lebih baik hidup lebih lama semenit daripada mati kemarin sore. Itu kah jalanmu?. Jalan setapak yang kaumiliki?. Kau tiba-tiba berbelok di tengah jalan?. Tapi aku tak dapat mencacimu. Karena kau pun sedang maju. Hanya saja jalan kita berbeda. Aku tak tahu. Sampai kapan aku berjalan di jalan ini. Kerikil-kerikil tajam ini terlalu menyakitkan untuk telapak kakiku yang halus. Lalu apa harapanmu setelah mati?. Kau ingin semua orang mengingat akan perjuanganmu?. Jasa-jasamu mungkin?. Gagahnya dirimu mungkin?.Rupawan wajahmu mungkin?. Kau sudah tak bisa kembali lagi.
Penyesalanmu ada di ujung sana. Bergandengan dengan tepuk tangan dan riuh hampa bandit-bandit tersebut. Setelah itu tak ada yang peduli lagi denganmu. Pada akhirnya, kau pun bergelimang kesia-siaan pula. Kenihilan. Lenyap. Di telan cerita.
Tak membanggakan lagi. Kau si angin lalu. lebih baik menanggung malu. Daripada lidah harus kelu. Akhirnya pun mati bisu. Di telan waktu. Lalu menjadi kisah anak kemarin waktu
Oh. Aku ingat. Salah seorang bandit itu pun kini menjadi pelacur. Kenapa aku tidak mengikutinya juga ya?. Tidak. Kau bingung. Apa yang harus kau lakukan?. Lekas tanyakan padanya. Kalau kau bukan dirinya. Begitu juga dirinya bukan dirimu. Aku ingin pergi. Jauh sekali. Aku ingin pergi. Sangat jauh. Aku ingin pergi. Begitu jauh. Aku tak ingin dekati ia. Ia yang membawaku ke jurang negasi identitas.

Bayi

Menjadi debu di atas batu, aku berjalan dengan kedua kaki tanpa alas. Dengan kedua mata sebagai penuntun. Dengan telinga sebagai pemberi informasi. Dengan tangan sebagai penindak. Dan hati sebagai pemandu. Aku tegar.
Jejak-jejak di sebuah gurun adalah kakiku. Jalan setapak di sebuah gang adalah mataku. Ranting-ranting kecil adalah tanganku.
Dan dedaunan yang jatuh seminggu yang lalu itu adalah hatiku. Ya. Yang mana?. Itu. Yang tergolek di tengah jalan raya.

Kemarin aku berdiri dengan entitas berupa kertas yang hangus terbakar. Hari ini aku menjadi asapnya yang membubung di langit-langit sebuah rumah. Esoknya mungkin aku akan menghilang dengan sendirinya. Mungkin aku sebuah tembakau pada awalnya. Yang di bakar bersama selembar kertas tergulung. Lalu menjadi asapnya yang kian lama menghilang lima atau sepuluh senti di atas kepala. Dimana sebelumnya terselip di sela basah bibir seseorang yang menghisap dan menghembuskannya berkali-kali. Lalu entitasku berubah menjadi sebatang kembang api kering. Yang di nyalakan dengan api. Lalu terbakar indah dan mati. Tiba-tiba pula entitasku berubah menjadi air yang tumpah. Lalu menggenang dan merembes melalui kapiler-kapiler karpet. Dan lenyap. Sedikit berbau.

Aku sempat terbakar. Aku sempat memercik. Aku dinyalakan. Aku tersentuh. Tapi bukan aku yang membakar. Dan bukan aku pula yang menyentuh.
Lalu siapa?. Tak tahu. Aku tak tahu. Aku sungguh tak tahu. Tidak. Kau tahu. Aku tahu. Itu dia. Dan mereka. Dan Kamu. Dan teman-temanmu mungkin. Dan adik-adikmu juga. Dan...dan..dan... Jancuk!. Kamu siapa sebenarnya?. Aku tersiksa. Aku tergilas. Aku tergerus. Aku terlecehkan. Aku terlacurkan. Aku teranjingkan. Aku terbudakkan. Aku tergilakan. Aku tertertenakkan. Aku terhimpit. Aku...aku...aku...

Sayang....

Aku terhormatkan. Aku merasa terhormatkan. Tahukah kau?. Aku tak rela menjadi seekor anjing kudis dengan seluruh kutu di tubuhnya. Aku lebih rela menjadi seekor anjing ras yang tengah menjilati kaki tuannya. Aku ingin bulu yang indah. Tersisir rapi dan wangi. Aku tak terpuaskan oleh diriku.
Tapi aku terbahagiakan oleh dirimu. Atau lebih tepatnya menjadi dirimu. Aku dirimu dan aku. Tolong. Berikan aku sebuah nama. Dan pakaikan aku sebuah kalung yang cantik.
Tambatkan taliku di manapun kau suka. Kini aku wangi, sayang. Kulihat dedaunan yang telah menguning di hadapanku. Tengah terbawa angin yang berhembus pelan. Terus terbawa.
Pelan. Pelan sekali. Seakan menari mengikuti angin. Cantik. Nampak cantik. Sempat menerpa wajahku sejenak sebelum akhirnya hancur di bawah hujaman langkah sepatu pantofel seseorang.
Aku tertawa terbahak-bahak. Menertawakan diriku dan permainannya. Sungguh mati aku tertawa terbahak-bahak sampai perutku sakit. Ku ucap lirih di dada. Aku merdeka.
Ku ucap lantang di dunia. Aku merdeka.

Tuesday, January 23, 2007

Sinyo dan Nonik

Di hari Senin ada sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang tengah memetik bunga di halaman sambil membawa keranjang 'tuk menyimpan bunga-bunga yang mereka sukai.Terlihat bunga kecil yang berwarna merah, yang bila di patahkan tangkai kecilnya akan keluar madu manis yang dapat di hisap. Bertangkai-tangkai mereka hisap habis madunya. Terkadang Mereka selipkan bunga berwarna putih pucat di telinga masing-masing. Selama tiga atau empat hari mereka memetik bunga di setiap pagi dan sore. Bercakap akrab seperti sepasang kekasih yang sedang beradu canda, nostalgia di kebun bunga

Hari kamis si bocah perempuan mengajak si bocah lelaki makan mie di halaman depan. Si bocah lelaki pun berkenan. Namun saat hari itu tiba, si bocah lelaki melupakan semuanya. Hari itu berlalu hampa, tanpa ada acara makan mie bersama, dan juga memetik bunga. Setelah itu tak tahu lagi apa yang terjadi. Setelah kurang lebih 13 tahun berlalu, si bocah lelaki tengah mengutarakan rindunya dalam sebuah sajak yang di tulisnya.


"Mayang, ini aku, kumbang yang pernah pergi meninggalkanmu
wahai kembang
aku teringat
akan rumahmu di sebelah rumahku
pintu yang menghubungkan rumah kita dan rumahmu
hari itu hati kita bertautan
tak kusangka aku melepaskan tautan hatiku padamu
aku tak pernah tahu
pada engkau yang mungkin telah menunggu lama di halaman depan rumahmu
aku tak pernah berani
melihat apa yang terjadi setelah itu
mungkin engkau menangis
kecewa pada seorang bocah kecil yang cengeng
yang berani ingkar janji 'tuk yang pertama kalinya
pada dambaan hatinya"

Mungkin Sekitar 20 Derajat Celcius

Menggigil dingin
dingin sekali...

di luar hujan
tidak terlalu lebat...

semilir udara AC semakin menusuk
tulang-tulang tubuhku...

di luar jendela yang tertutup kain gorden
terdengar tetesan-tetesan penghabisan hujan...

masih terasa dingin
dingin sekali...

seperti seonggok daging
yang di simpan dalam kulkas...

dingin sekali
hampir membeku...

kemana pun melangkah
selalu dingin...


dingin ini
dingin jiwa ini...

dingin jiwa ini
bekunya api di dalam tubuh...

celcius
celcius...

berapa fahrenheit kah
celcius ini...

dingin
sungguh dingin...

dingin yang membunuh
dingin nya dingin...

dingin - dingin
sungguh dingin....

Pahlawan

Dalam ricuhnya dunia
kegamangan jiwa pun muncul
menghadap ke timur
berjalan ke arah bintang panduan

Kabut datang
timur tiada lagi terang
di tenggara ada dua sinar yang menyala
kaki-kaki kecilmu itu melangkah kepadanya

Pada akhirnya tersapu oleh esok
tiada nyata lagi
awan berkumpul di selatan
memberi fatamorgana naungan yang sejuk

Tapi sekumpulan uap air tersebut memuntahkan dirinya
lenyap bagai pasir di atas batu licin yang tertiup angin
mungkin mentari bersedia menjadi panduku
tapi malam datang tak di undang menenggelamkannya

Berdiri tegak di atas mercusuar tua
sendirian di tengah sepi yang menyambut
melolong sekeras-kerasnya bagai anjing sakit
hamparan merata di depan mata menyahut

Sudah saatnya
untuk berjalan sendiri
menentukan arah langkah
menjadi pandu diri

Lelap Manusia Dalam Bangunnya

Aku ingin di bangunkan
bukan dengan suara cemeti
karena aku bukan keledai

Aku ingin di bangunkan
bukan dengan suara letusan senapan
karena aku bukan buron

Aku ingin di bangunkan
juga bukan dengan suara lonceng makan siang
karena aku bukan napi

Aku hanya ingin di bangunkan
dengan gemuruh manusia yang membahana ke langit
karena aku hanya sesosok karang pasir di tepi pantai

Bangunkan aku...bangunkan aku...
aku hampir terlelap
bangunkan aku...bangunkan aku...
papah diriku yang nyaris terlelap

Rumah Laba-Laba

Ada seekor laba-laba
yang membangun rumahnya dengan benang yang rapuh
yang dengan sungguh-sungguh merajut
perlahan dan hati-hati dengan riang gembira
sederhana namun nyaman

Semua yang melihatnya tahu itu adalah sebuah rumah
yang di tinggali si laba-laba
namun tak banyak yang mau tahu
usaha si laba-laba ketika membangun rumahnya
tak ada yang peduli dengan cetak biru rumahnya

Seorang manusia dengan angkuh menghancurkannya
karena di anggap mengotori rumahnya yang bersih
dan mewah
laba-laba yang dengan sungguh-sungguh membangun rumahnya marah
ia merasa di lecehkan

Laba-laba tidak memerlukan seekor laba-laba arsitek untuk merancang rumahnya
lain halnya dengan manusia
laba-laba terlahir menjadi seekor arsitek
laba-laba memiliki sebuah maha karya yang luar biasa
manusia yang rendah tidak mampu menyamai bahkan melebihi karya seekor laba-laba

Manusia rendah hanya melihatnya dengan sebelah matanya yang picek
yang di lihatnya hanyalah sebuah sarang laba-laba biasa yang kotor
yang tidak membuatnya takjub
ia berpikir si laba-laba tidak kreatif
tidak sebanding dengannya yang di rasanya luar biasa dan berbeda

Lalu manusia bertanya kepada laba-laba
"mengapa kau tidak pernah membuat sebuah rumah yang berbeda? rumahmu telalu biasa!"
Laba-laba menjawab
"Semua orang tahu dan mengerti seperti apa tempat tinggal kami dengan sekali lihat, dan tahu makhluk macam apa yang tinggal di tempat tersebut. Engkau membuat rumah yang mewah dan bergaya macam-macam, namun orang tidak pernah tahu makhluk macam apa yang tinggal di dalam rumah tersebut"
manusia bertanya lagi kepada laba-laba
"Lalu apakah kau tidak malu dengan rumahmu yang terlalu biasa itu?"
laba-laba menjawab
"Aku tidak malu, karena aku membangun semua ini dengan keringatku sendiri, dengan pemikiranku sendiri, kukorbankan seluruh jiwa dan ragaku untuk membuatnya. Aku merasa nyaman dengannya. Ini karyaku sendiri, kau tidak berhak menghinanya karena kau sendiri manusia yang berkarya. Entitasku dan entitasmu berbeda. Sebaiknya kau perbaiki matamu yang tidak biasa melihat yang biasa!".

Friday, January 19, 2007

Ronda Malam (Bagian Siji)

"Han, han! tangi han!"
Handoko seng turu pules ujuk-ujuk di tangekke karo koncone neng sebelahe. "Opo, No? ".
"Lah! piye to kowe iki? jaremu mau arepe ndelok Mbok Dar adus! sido opo ora?".
Handoko molet, nggosok-nggosok matane. Meneng dilut, tatapane nerawang. Marno, neng sebelahe nyadarke Handoko meneh. "Han! sido ora?", Jarene Marno setengah mbengok setengah bisik-bisik.
"Jam piro saiki no?".
"Jam siji, Han! koyoke wong-wong wes turu kabeh!...aman le!".
Sek di liputi rasa ngantuk, awake Handoko wes arepe nggeblak neng kasur meneh, tapi Marno pisan engkas nangekke Handoko, "Hoi, Han! Ayo!".
"Bapakmu karo ibumu wes turu?".
"Wes lah, Han! Kabeh wes turu! Ayo cepet neng njeding, biasane jam semene Mbok Dar adus!".
Karo molet pisan engkas, Handoko ngadek. "Yoh!".

Bar kuwi, bocah loro iku mau metu soko kamare Marno alon-alon. Se iso mungkin bocah loro kuwi lek ngelangkah ora meninggalkan bunyi. Ruangan gelap, lampu-lampu wes dipateni. Tapi Marno koyok wes apal ngono, de'e iso ndelok neng kegelapan.
"No...cen e mbok dar wes pirang taun kerjo neng omahmu? aku gong tau ndelok wajahe".
Marno nyengir, "Sek tas wae...paling rong minggu lalu".
"Ayu ora?".
Marno mandek dilut, ndelok Handoko, "Yo bagiku seh ayu...nggae 'adik' ku standing wae,...nge tril koyok motor ngono".
Handoko sek penasaran, "Umure piro to No?"
"37 taun, wes mantaplah pokoke".
"Kowe mbendino koyok ngene iki No?".
"Yo ora lah...kadang aku langsung ngintip neng kamare".
Handoko cekikikan karo geleng-geleng, "Gendeng men to we, No?".
Bocah loro kuwi luwih suwi nyedeki target. Krungu suara wong adus soko njeding. Marno wes keringetan, Handoko tolah toleh kiri kanan.
Marno ngintip Mbok Dar soko lobang neng pintu kunci njeding seng wes rusak. Mbok Dar isih
adus. Indah bodine luar biasa. Marno koyok kesetrum listrik.
"Piye No? Mantep?", Handoko yo penasaran.
Marno meneng wae, koyoke menghayati. wes ora sadar meneh. De'e mek ngeleg idu.

Hormat Grak!

Senin pagi di bawah langit mendung
tiang bendera tak berbendera tegak berdiri menantang
angin bertiup sedikit kencang
tetesan-tetesan air berselang sepuluh detik datang dari langit

Lonceng sekolah di dentangkan
para murid berhamburan keluar
dengan kasogi hitam dan kaos kaki putih
kaki-kaki mungil tak berdosa bergerak tak sama

Halaman sekolah yang belum di padatkan
injak tanah, lumpur pun muncrat
sedikit becek hari ini
karena hujan di Minggu sore

Murid-murid berbaris rapi
dengan seragam yang sama
dan topi sekolah yang merah
persis prajurit yang siap di terjunkan ke medan perang

Murid-murid berbaris rapi
dengan seragam yang sama
dan topi sekolah yang merah
menatap kosong ke arah tiang bendera yang tak berbendera

Saturday, January 13, 2007

Pilihan (2)

Hidup itu pilihan

Hidup bagai serpihan-serpihan yang tersebar di berbagai penjuru
Atau mati terhormat di salah satu sudut

Tiada cela

Sedepa Di Depan Mata

Jarak antara kita hanya sedepa
namun kau membuatnya seakan menjadi seribu depa
dapat kulihat jelas kedua bola matamu
tengah sembunyi di balik gelak tawa kosong

Berlari lalu sembunyi
terkadang kau mengintip sekilas saat sembunyi
hanya 0.5 detik
tidak...aku yakin kurang dari itu

Kita tengah bermain petak umpet
tapi bukan tubuh kita yang bermain
hanya indera kita saja
yakni mata kita yang sedepa

Yang sedepa itulah yang menjadi permasalahan
tapi malam itu aku tak pernah sembunyi
barang sedetik pun
aku tengah memandangimu

Tak hentinya
aku mengejarmu
hendak menangkapmu
agar gantian engkau yang jaga

Tapi begitu lihainya dirimu mengelak
aku tak dapat menemukanmu
aku hanya menatap bayanganmu saja
kemana kau larikan dirimu yang sebenarnya?

Perlahan aku mengerti
aku menyelinap dalam bayangmu
menjadi dirimu sejenak
aku pun tergelak

Sungguh lucu
kisah seorang manusia
yang sama
yang tak tahu akan dirinya tengah berada di mana

Yang tak melihat dirinya dalam cermin
sebagai kepompong busuk
yang di tinggal kupu-kupu
terbang jauh melayang

Tiada yang menertawai kami
tiada yang menangisi kami
yang ada hanya mereka
yang mencibir kami

Akh...aku lupa
jarak kita masih terpaut sedepa
aku sanggup menjulurkan tanganku
lalu kau menyambutnya

Itu pun kalau hati kita terpaut
bagai rantai
yang kokoh
bukan selembar tisu

Akh...aku pun lupa
hati kita memang tak terpaut
tapi perasaan kita
tak pernah ada sekat

Terkadang aku bisa mengintip
dirimu saat resah
tapi aku sangsi
apakah kau begitu juga?

Berapa depa lagi
yang harus kita lalui
dengan melelahkan
seperti ini?

Memang,
tak pernah ada sepasang singa jantan
dalam satu wilayah
kekuasaan rimba yang liar

Mungkin hanya satu
yang bisa menghapus sedepa ini
yakni kesirnaan
salah seorang dari kita

Karena kupikir
semuanya terlambat
arak kepongahan telah habis
kita minum

Di bawah purnama
yang pucat
dalam pekat malam
yang mencekam

Tiada lagi cerita kepahlawanan
yang dulu kita diskusikan
sembari mabuk
bagai 1807 tahun silam

Sungguh,
aku rindukan masa itu
kita yang bodoh
bercerita tentang zaman

Waktu tak bisa berjalan mundur
hanya bisa maju
dan maju
ia tak kenal belas kasih

Akh... kembalikanlah kami
seperti dulu lagi
saat belum mengenal
apa itu kesempurnaan

Friday, January 5, 2007

Pelempar Batu

Di bawah derai air mata para janda
ibu-ibu yang telah uzur
gadis-gadis kecil yang akan berangkat ke sekolah
bayi-bayi yang menjerit dalam pelukan

Dan di linangi senandung lirih doa para orang tua
guru-guru sekolah
wanita penanti datangnya petang
yang menghunus langit hingga terkoyak menuju Arsy-Nya

Fajar baru merekah
sedari tadi kau sudah terbangun dari tidurmu
hari ini pun begitu
seusai sholat subuh kau berkemas

Kecup hangat tangan mulia ibu mu
keningnya
dan pipinya
biarkan ia melumuri mu dengan doa dan balut usap kepalamu

Mungkin hari ini kau tak kembali
dapatkah kau intip sedikit tentang esok?
wahai pemuda
penanti esok

Waktu dhuha sudah dekat
tak sempat kau sarapan pagi
kau pun berdiri di halaman rumahmu
dengan batu-batu dalam kantong celanamu

Jilatlah angkasa
basahi dengan buih liurmu
karena mereka yang di belakangmu pun
berbuat demikian

Langit tak bertiang
yang di tinggikan
adalah keyakinan tersisa
yang masih kau genggam

Tiada lagi terdengar si Bulbul bernyanyi
seperti dahulu kala
saat fajar merekah
dan anak-anak berangkat ke sekolah

Wahai para pelempar batu
pelindung para wanita
gadis-gadis kecil yang suci
dan ayah-ayah mereka

Berlari bagai kuda di medan pertempuran
segagah mobil perang yang tengah melaju
di jalanan beraspal
yang haram bagi mereka tuk menginjaknya

Dengus nafas buas mereka terdengar
hewan-hewan liar pemangsa tak pandang mata
yang tubuhnya terbalut
oleh baja berkualitas tinggi

Sepercik darah mereka
harus di bayar dengan
seribu nyawa temanmu
juga nyawamu

Wahai para pelempar batu
yang tengah berlindung
dari ganasnya
peluru menerjang

Di belakangmu Al-Aqsa
di depanmu musuh yang hendak memperkosanya
darahmu sebagai taruhan
dan harga diri sebagai senjata

Di saat kau merasa tiada asa
kau kembali menatap ke belakang
gelegak darahmu pun kembali bergelora
Tak rela kau serahkan ia ke tangan mereka

Wahai para pelempar batu
langit sudah merah
sebentar lagi gelap
ibu mu tengah menanti di rumah

Dengan harap cemas
resah gelisah
akan bentuk dirimu
tatkala sampai di rumah nanti

Jika sempat
tidurlah sejenak
di bawah kemul dekap hangat ibu mu
karena esok pasti kembali
dan belum tentu kau kan kembali

Wednesday, January 3, 2007

Sepucuk Surat

Rentang satu purnama ini sungguh sunyi
berharap menulis sepucuk surat tuk seseorang yang di damba
yang kiranya jauh di mata
dan tak juga dekat di hati

Sampai musim berganti
kan kumasuk kan surat ini ke dalam botol
dan kulemparkan ke tengah samudera yang luas
biarlah ia terombang ambing dalam ganasnya ombak

Tak perlu khawatir
tak kan hancur dikau di telan ombak
kau kan terus berlayar
sampai berlabuh di sebuah pulau kecil yang kau dambakan

Sampai pada saatnya
seseorang kan membacamu
kau yang ku untai dengan kata-kata sederhana
segera sampaikanlah kabar itu padaku

Sudah lama aku menantikannya
seseorang menaiki sampan kecil itu
dari kejauhan di payungi lembayung senja
perlahan menuju ke tempatku

Dapat kulihat jelas riak kecil air tersibak dayung
caping besar yang menutupi wajah
gaun putih pucat yang melambai-lambai
siluetmu berdiri di atas samudera yang horizontal

Aku melambaikan tangan
lalu berlari di atas lembutnya pasir bertelanjang kaki
bersorak gembira
menyanyikan tembang senja

Kau benar-benar datang
dalam pikirku
aku benar-benar menanti
dalam duduk ku



Karawaci, 4 Januari 2007