apa kabarmu hari ini?
sudah lama aku
tak melihat
selembar senyum permata
dan sepasang tatap mutiara
milikmu
aku di sini baik baik saja
hanya selalu gelisah
memikirkanmu
apalagi di kala
sendiri dan
sunyi
pada waktu malam
dan siang hari
ataupun
di ruang-ruang kosong
yang sempit dan
pengap
hanya sebatang pena
dan buku kecil di saku
yang setidaknya
mampu mengobati rinduku
padamu
pada lembar-lembar kosong
yang selalu terisi
oleh bayangan dirimu
tepaksa kuguratkan
ujung pena yang keras
menari
di atas lembaran-lembaran
itu
lembaran-lembaran kosong itu
kupenuhi
dengan huruf-huruf kecil yang
kubentuk dalam hati
diam-diam
kurangkai
wajahmu dan
segalanya tentangmu
melalui huruf-huruf itu
dengan begitu
aku tak lagi merasa
kesepian
karena dirimu yang ada
di atas lembaran-lembaran itu
menemaniku
di manapun aku berada
saat merangkainya
dapat kucium dirimu
dari jauh
banyak hal yang
ingin kutanyakan kepadamu
seperti : kapan kita akan bicara?
karena sudah lama
hatiku menunggu
kata-kata pertama yang keluar
dari bibirmu
itu
seperti bayi
yang baru mulai bisa
bicara
menyebut : ma-ma...ma-ma...
aku pun terus
menantinya
bagai seorang ibu tua
yang letih dan
rapuh
yang kutakutkan hanyalah
dirimu yang sendiri
di antara
serigala-serigala liar
yang lapar
aku pun salah satu
dari serigala liar itu
yang tergarang dan
terlemah
karena itu aku
selalu terkapar
dan terus mengais
sampah
yang kan terus menjadi
pecundang gila
bila
tak kau pedulikan
terima kasih atas
sekilas tatapmu kemarin
walau
secepat kerdipan mata
tetapi masih tersimpan rapi
dalam palung hatiku
yang terus bergelora
tanpa henti
lain kali
kan kusambung lagi surat ini
dengan lantunan
laguku
semoga kau membalasnya
dengan kata-kata
wassalam
karawaci, 14 september 2007
Friday, September 14, 2007
Thursday, September 13, 2007
Syair Rindu
aku menulisnya dalam kerinduan
yang memuncak
yang tak tertahankan lagi
bak merapi yang
siap meletus
memuntahkan laharnya
ke lereng-lereng gunung
meluluh lantahkan perkampungan
di kaki-kakinya
dan melumat
makhluk-makhluk hingga
tak bersisa
rindu membuatku gila
terpendam
andaikata
angin mampu membawa
syair-syair rinduku
kepadamu
sudah kuucapkan beribu syair
baik dalam bangun
maupun tidurku dan
di setiap tarikan nafasku
maupun di setiap kerdipan
mataku
andaikata
lebih cepat kusadari tentang
keberadaanmu
tak perlu lagi aku bersusah payah
mengejar melati yang
t'lah terbang tertiup angin
itu
engkau anggrek yang bersembunyi
di balik mahkota melati
yang selama ini kuciumi baunya
engkau yang bernafas pelan
namun kuketahui
desah nafasmu itu
aku pernah bercerita
tentang setangkai kembang dan
seribu kumbangnya yang
tak kupedulikan
namun
tak sanggup diriku melihat satu kumbangpun
terbang di atasmu
ataupun semut-semut
yang hendak mendaki
tangkaimu yang lunak itu
duhai engkau anggrekku sayang
berkenankah dirimu bila
kubasahi mahkotamu dengan
syair dan
air mataku?
walau kutahu
tak pernah sepadan syairku
bila di bandingkan
denganmu
namun aku terus belajar
sedikit demi sedikit
kata yang kurangkai
bak kembang
yang nanti kan kuselipkan
di telingamu hingga
engkaupun merona
dan kita pun
bicara
sungguh kunanti
saat engkau lantunkan
kata-kata lembutmu
kepadaku
sedetik
menatap senyummu
bagai setahun
dalam dekap
ilusimu
apa yang harus kuberikan
padamu
agar engkau berkenan
bertanya kepadaku?
sedang aku tahu
tak kumiliki
apapun
kecuali lidahku
yang kering dan
kadang membatu
bersediakah
engkau kubawa dalam
dekap kemelaratanku?
maukah engkau?
engkau
yang selalu terbayang
dalam sepiku
ini bukanlah
sajak terakhir
yang kutulis
untukmu
yang memuncak
yang tak tertahankan lagi
bak merapi yang
siap meletus
memuntahkan laharnya
ke lereng-lereng gunung
meluluh lantahkan perkampungan
di kaki-kakinya
dan melumat
makhluk-makhluk hingga
tak bersisa
rindu membuatku gila
terpendam
andaikata
angin mampu membawa
syair-syair rinduku
kepadamu
sudah kuucapkan beribu syair
baik dalam bangun
maupun tidurku dan
di setiap tarikan nafasku
maupun di setiap kerdipan
mataku
andaikata
lebih cepat kusadari tentang
keberadaanmu
tak perlu lagi aku bersusah payah
mengejar melati yang
t'lah terbang tertiup angin
itu
engkau anggrek yang bersembunyi
di balik mahkota melati
yang selama ini kuciumi baunya
engkau yang bernafas pelan
namun kuketahui
desah nafasmu itu
aku pernah bercerita
tentang setangkai kembang dan
seribu kumbangnya yang
tak kupedulikan
namun
tak sanggup diriku melihat satu kumbangpun
terbang di atasmu
ataupun semut-semut
yang hendak mendaki
tangkaimu yang lunak itu
duhai engkau anggrekku sayang
berkenankah dirimu bila
kubasahi mahkotamu dengan
syair dan
air mataku?
walau kutahu
tak pernah sepadan syairku
bila di bandingkan
denganmu
namun aku terus belajar
sedikit demi sedikit
kata yang kurangkai
bak kembang
yang nanti kan kuselipkan
di telingamu hingga
engkaupun merona
dan kita pun
bicara
sungguh kunanti
saat engkau lantunkan
kata-kata lembutmu
kepadaku
sedetik
menatap senyummu
bagai setahun
dalam dekap
ilusimu
apa yang harus kuberikan
padamu
agar engkau berkenan
bertanya kepadaku?
sedang aku tahu
tak kumiliki
apapun
kecuali lidahku
yang kering dan
kadang membatu
bersediakah
engkau kubawa dalam
dekap kemelaratanku?
maukah engkau?
engkau
yang selalu terbayang
dalam sepiku
ini bukanlah
sajak terakhir
yang kutulis
untukmu
Wednesday, September 12, 2007
Kedok Si Pembunuh
aku merasa engkaulah sosok itu. yang menikam dadaku dengan belati. aku menatap punggungmu yang tengah menyandar pada tembok di sampingmu. aku hanya berusaha membayangkanmu dalam pikirku yang terus menghantam dadaku. Kala senja itu. pembunuhku yang suci. sebelum aku sempat berkata apapun, kau sudah menghujamkan belatimu pada dada ini. kapan aku memiliki sedikit waktu 'tuk berbincang sedikit denganmu?. mengapa kau membunuhku?. dan mengapa aku terdiam. sorot itu. belum pernah ku temui lagi sorot yang dengan sinarnya mampu membuatku terpelanting begitu jauh. sebenarnya tanpa kau hujamkan belatimu itu pun aku sudah mati. hanya saja tusukanmu itu lebih memastikan kematianku. dan memperjelas kan kematianku.
dulu kau tak sendiri seperti saat ini. mungkin karena itulah aku lengah. aku yang terbentuk dari batu-batu yang kokoh malah terlubangi di tengahnya. muncratlah air itu. memang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kematian yang perlahan-lahan. aku tak bisa mati sekejap. aku musti mati berkali-kali. barulah aku dapat mengalami kematian yang sesungguhnya.
pembunuhku!, bergetar aku melihatmu. takut setengah mati aku memandangmu. kerdil jiwa ini di hadapanmu. lemas lututku begitu kau melangkah melewatiku. kelu lidahku. dan sirna segala keangkuhanku. sorotmu yang hanya sekilas itu menyisakan tanda tanya. tapi sorot yang sekilas itu kau berikan padaku setelah jantungku berhenti berdetak karena belati yang tertancap di dada kiriku. aku hanya menganga. rupanya selama ini aku hidup sia-sia. tak percuma ada yang masih peduli padaku. pembunuh suciku, biarkan aku menatapmu sekali lagi. dengan mataku sungguh-sungguh. aku hanya ingin mengenang mereka yang pernah membunuhku. biarkan aku menyimpanmu rapi dalam memori otakku. kau yang kesekian kalinya yang membunuhku. nanti siapa lagi?. aku enggan memikirkannya. yang kuinginkan saat ini hanyalah ingin menatap wujudmu.
dulu aku pikir kalau temanmu yang satu lagi yang akan menggoreskan luka di dadaku. dulu aku pikir dialah sosok itu. tapi kini ternyata aku sadar. pembunuh suciku yang ada di hadapanku. itulah engkau. wujudmu yang tersamar di balik tubuhnya. perlahan merangkai diri dan membentuk sempurna. dan kini jelas aku menatapmu. puas pula aku menatapmu. biar darah segar tengah bersimbah keluar dari mulutku yang tak bisa bicara lagi. namun tatapku terus mengawasi kepergianmu. bola mataku yang berkaca-kaca menatap kabur sosok dirimu yang semakin kabur. tak bisa lagi tubuhku bergerak. hanya kesakitan yang luar biasa pada jantungku yang tertembus ini. gerak hanya menambah sakit saja. aku mati berdiri. aku mati berdiri. aku mati berdiri. kupikir dulu kuburku adalah tanah yang kupijak. namun ternyata kuburku adalah sayup-sayup suara bisu yang keluar dari mulutku. suara bisu itu adalah sajak terakhir yang terangkai untukmu. aku ingin menatapmu sekali lagi. aku tak peduli pada dunia. entah surga atau neraka tempat yang harus kunaungi, aku tetap ingin membawa selembar potretmu. sebagai cendera mata terindah yang pernah ku punya. seseorang yang membunuhku. dengan sempurna.
dulu kau tak sendiri seperti saat ini. mungkin karena itulah aku lengah. aku yang terbentuk dari batu-batu yang kokoh malah terlubangi di tengahnya. muncratlah air itu. memang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kematian yang perlahan-lahan. aku tak bisa mati sekejap. aku musti mati berkali-kali. barulah aku dapat mengalami kematian yang sesungguhnya.
pembunuhku!, bergetar aku melihatmu. takut setengah mati aku memandangmu. kerdil jiwa ini di hadapanmu. lemas lututku begitu kau melangkah melewatiku. kelu lidahku. dan sirna segala keangkuhanku. sorotmu yang hanya sekilas itu menyisakan tanda tanya. tapi sorot yang sekilas itu kau berikan padaku setelah jantungku berhenti berdetak karena belati yang tertancap di dada kiriku. aku hanya menganga. rupanya selama ini aku hidup sia-sia. tak percuma ada yang masih peduli padaku. pembunuh suciku, biarkan aku menatapmu sekali lagi. dengan mataku sungguh-sungguh. aku hanya ingin mengenang mereka yang pernah membunuhku. biarkan aku menyimpanmu rapi dalam memori otakku. kau yang kesekian kalinya yang membunuhku. nanti siapa lagi?. aku enggan memikirkannya. yang kuinginkan saat ini hanyalah ingin menatap wujudmu.
dulu aku pikir kalau temanmu yang satu lagi yang akan menggoreskan luka di dadaku. dulu aku pikir dialah sosok itu. tapi kini ternyata aku sadar. pembunuh suciku yang ada di hadapanku. itulah engkau. wujudmu yang tersamar di balik tubuhnya. perlahan merangkai diri dan membentuk sempurna. dan kini jelas aku menatapmu. puas pula aku menatapmu. biar darah segar tengah bersimbah keluar dari mulutku yang tak bisa bicara lagi. namun tatapku terus mengawasi kepergianmu. bola mataku yang berkaca-kaca menatap kabur sosok dirimu yang semakin kabur. tak bisa lagi tubuhku bergerak. hanya kesakitan yang luar biasa pada jantungku yang tertembus ini. gerak hanya menambah sakit saja. aku mati berdiri. aku mati berdiri. aku mati berdiri. kupikir dulu kuburku adalah tanah yang kupijak. namun ternyata kuburku adalah sayup-sayup suara bisu yang keluar dari mulutku. suara bisu itu adalah sajak terakhir yang terangkai untukmu. aku ingin menatapmu sekali lagi. aku tak peduli pada dunia. entah surga atau neraka tempat yang harus kunaungi, aku tetap ingin membawa selembar potretmu. sebagai cendera mata terindah yang pernah ku punya. seseorang yang membunuhku. dengan sempurna.
Tuesday, September 11, 2007
Monday, September 10, 2007
Dinamit
ku titip salam
pada dinamit
peluluh lantah
dadaku
ku titip salam
pada anak panah
beracun pelubang
dadaku
ku titip salam
pada pisau
pengiris-iris
dadaku
Selama seperempat abad terakhir akhirnya aku tertusuk lagi oleh tangkai mawar putih yang wangi. Duri-duri kecilnya mengoyak pelan kulit dan dagingku. Luka yang menganga lebar melelehkan tangisan-tangisan terpendam dalam tubuh selama ini. Semuanya karena sebentuk wajah imajiner terealisasikan dalam realita. Bibir yang mengatup erat gemetar, mengering bagai daun-daun layu. Ada si pemain jantung hati yang berdiri di depanku. Sekat-sekat imajinatif yang mendorongku menatap buta pada kegelapan. Jangan lihat. Tapi telinga tidaklah tuli, maka itu aku melihatnya melalui telingaku.
Bagaimana rasa setetes madumu itu?
ku titip salam
pada mereka
yang membunuhku
diam
aku meledak sekali lagi...
pada dinamit
peluluh lantah
dadaku
ku titip salam
pada anak panah
beracun pelubang
dadaku
ku titip salam
pada pisau
pengiris-iris
dadaku
Selama seperempat abad terakhir akhirnya aku tertusuk lagi oleh tangkai mawar putih yang wangi. Duri-duri kecilnya mengoyak pelan kulit dan dagingku. Luka yang menganga lebar melelehkan tangisan-tangisan terpendam dalam tubuh selama ini. Semuanya karena sebentuk wajah imajiner terealisasikan dalam realita. Bibir yang mengatup erat gemetar, mengering bagai daun-daun layu. Ada si pemain jantung hati yang berdiri di depanku. Sekat-sekat imajinatif yang mendorongku menatap buta pada kegelapan. Jangan lihat. Tapi telinga tidaklah tuli, maka itu aku melihatnya melalui telingaku.
Bagaimana rasa setetes madumu itu?
ku titip salam
pada mereka
yang membunuhku
diam
aku meledak sekali lagi...
Saturday, September 1, 2007
Bergerak Diam
Sejenak diri yang berdiam pada satu sudut ini tengah bertanya kepada dirinya yang diam. Apakah kiranya melangkah adalah sesuatu yang nista?. Kadangkala tatkala mata memandang mereka yang berjalan dan berlari melewati diri dari depan dan belakang, tiba-tiba gemuruh badai gamang menggelegar dan menyambar-nyambar bagai petir di dalam dada. Kiranya, salahkah mereka yang bergerak?. Mereka yang bergerak dalam langkah yang sederhana. Langkah yang mengalun pelan menyambung langkah berikutnya pada esok hari dan keesokan harinya lagi.
Mereka yang merelakan tubuhnya menjadi landasan terbang yang tak pernah berkeinginan terbang terlalu tinggi.
Sedangkan diri yang masih berdiam pada tempatnya masih memiliki sejuta mimpi yang terkubur dalam-dalam. Manakah yang lebih mulia?.
Salahkah bila salah sejiwa bergerak lantaran di tinggal bapaknya pergi merantau kembali?.
Mereka yang kepayahan setelah melihat wujud dunia. Lalu diri bersama yang lain berdusta pada jiwa-jiwa serupa yang telah berjanji 'tuk bersatu padu di satu titik temu. Dalam hal ini, siapa lagi bila bukan lidah tak bertulang yang berperan besar pada pengkhianatan keji tersebut? Terperosok pada jurang yang terus tertawa keledai. Menghabiskan suara cuma-cuma.
Sampai kapan mereka yang berdiam terbutakan oleh tawa keledai mereka sendiri?.
Tak jarang arus bermuara pada kematian. Sekali lagi. Aku ingin bergerak. Karena aku rindu. Aku ingin melangkah sebelum aku lupa cara berjalan. Sebelum aku gila karena tertawa. Dan sebelum aku gila karena diam.
Mereka yang merelakan tubuhnya menjadi landasan terbang yang tak pernah berkeinginan terbang terlalu tinggi.
Sedangkan diri yang masih berdiam pada tempatnya masih memiliki sejuta mimpi yang terkubur dalam-dalam. Manakah yang lebih mulia?.
Salahkah bila salah sejiwa bergerak lantaran di tinggal bapaknya pergi merantau kembali?.
Mereka yang kepayahan setelah melihat wujud dunia. Lalu diri bersama yang lain berdusta pada jiwa-jiwa serupa yang telah berjanji 'tuk bersatu padu di satu titik temu. Dalam hal ini, siapa lagi bila bukan lidah tak bertulang yang berperan besar pada pengkhianatan keji tersebut? Terperosok pada jurang yang terus tertawa keledai. Menghabiskan suara cuma-cuma.
Sampai kapan mereka yang berdiam terbutakan oleh tawa keledai mereka sendiri?.
Tak jarang arus bermuara pada kematian. Sekali lagi. Aku ingin bergerak. Karena aku rindu. Aku ingin melangkah sebelum aku lupa cara berjalan. Sebelum aku gila karena tertawa. Dan sebelum aku gila karena diam.
Subscribe to:
Posts (Atom)