Wednesday, September 12, 2007

Kedok Si Pembunuh

aku merasa engkaulah sosok itu. yang menikam dadaku dengan belati. aku menatap punggungmu yang tengah menyandar pada tembok di sampingmu. aku hanya berusaha membayangkanmu dalam pikirku yang terus menghantam dadaku. Kala senja itu. pembunuhku yang suci. sebelum aku sempat berkata apapun, kau sudah menghujamkan belatimu pada dada ini. kapan aku memiliki sedikit waktu 'tuk berbincang sedikit denganmu?. mengapa kau membunuhku?. dan mengapa aku terdiam. sorot itu. belum pernah ku temui lagi sorot yang dengan sinarnya mampu membuatku terpelanting begitu jauh. sebenarnya tanpa kau hujamkan belatimu itu pun aku sudah mati. hanya saja tusukanmu itu lebih memastikan kematianku. dan memperjelas kan kematianku.

dulu kau tak sendiri seperti saat ini. mungkin karena itulah aku lengah. aku yang terbentuk dari batu-batu yang kokoh malah terlubangi di tengahnya. muncratlah air itu. memang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kematian yang perlahan-lahan. aku tak bisa mati sekejap. aku musti mati berkali-kali. barulah aku dapat mengalami kematian yang sesungguhnya.
pembunuhku!, bergetar aku melihatmu. takut setengah mati aku memandangmu. kerdil jiwa ini di hadapanmu. lemas lututku begitu kau melangkah melewatiku. kelu lidahku. dan sirna segala keangkuhanku. sorotmu yang hanya sekilas itu menyisakan tanda tanya. tapi sorot yang sekilas itu kau berikan padaku setelah jantungku berhenti berdetak karena belati yang tertancap di dada kiriku. aku hanya menganga. rupanya selama ini aku hidup sia-sia. tak percuma ada yang masih peduli padaku. pembunuh suciku, biarkan aku menatapmu sekali lagi. dengan mataku sungguh-sungguh. aku hanya ingin mengenang mereka yang pernah membunuhku. biarkan aku menyimpanmu rapi dalam memori otakku. kau yang kesekian kalinya yang membunuhku. nanti siapa lagi?. aku enggan memikirkannya. yang kuinginkan saat ini hanyalah ingin menatap wujudmu.

dulu aku pikir kalau temanmu yang satu lagi yang akan menggoreskan luka di dadaku. dulu aku pikir dialah sosok itu. tapi kini ternyata aku sadar. pembunuh suciku yang ada di hadapanku. itulah engkau. wujudmu yang tersamar di balik tubuhnya. perlahan merangkai diri dan membentuk sempurna. dan kini jelas aku menatapmu. puas pula aku menatapmu. biar darah segar tengah bersimbah keluar dari mulutku yang tak bisa bicara lagi. namun tatapku terus mengawasi kepergianmu. bola mataku yang berkaca-kaca menatap kabur sosok dirimu yang semakin kabur. tak bisa lagi tubuhku bergerak. hanya kesakitan yang luar biasa pada jantungku yang tertembus ini. gerak hanya menambah sakit saja. aku mati berdiri. aku mati berdiri. aku mati berdiri. kupikir dulu kuburku adalah tanah yang kupijak. namun ternyata kuburku adalah sayup-sayup suara bisu yang keluar dari mulutku. suara bisu itu adalah sajak terakhir yang terangkai untukmu. aku ingin menatapmu sekali lagi. aku tak peduli pada dunia. entah surga atau neraka tempat yang harus kunaungi, aku tetap ingin membawa selembar potretmu. sebagai cendera mata terindah yang pernah ku punya. seseorang yang membunuhku. dengan sempurna.

No comments: