Monday, January 14, 2008

Malam Yang Mati

Malam yang aneh. Tak jelas kepada siapa aku menunggu. Atau oleh siapa aku ditunggu. Sebuah malam tanpa nyawa. Tidak!. Aku lebih suka menyebutnya dengan hari.
Tidak terasa lagi tanda-tanda kehidupannya, desah nafasnya, ataupun bisikannya. Dia telah lenyap!. Hilang!. Mungkin dia telah mati. Mati di tanganku sendiri. Setelah berkali-kali kutikam dengan belati di kepalaku. Aku berhasil membunuhnya!. Aku harus merayakannya!. Sorak!. Horeee!!!. Angkat gelas untuk kekejamanku!. Dia tak akan bisa hidup lagi. Semoga untuk selamanya.

Tahukah kamu apa artinya itu, kawan?. Seharusnya aku bisa melangkahkan kakiku lagi dalam sepi yang dulu selalu kurindu. Sudah pernah kukatakan padamu dulu. Kau biarkan dirimu sekarat. Tak segera kau tolong dirinya. Jadinya kutikam saja sekalian. Karena aku tak tega bila harus terus menatap wajah kesakitannya dan mendengar erangannya itu.
Bukan salahku bila harus membunuhnya. Engkau yang memintanya.
Entah...
Seharusnya aku bergembira. Atau bersedih karena kepergianmu. Tapi aku merasa seperti tak terjadi apa-apa. Aku lebih berkonsentrasi untuk terus menelan ludahku sendiri. Membasahi kerongkonganku agar tidak batuk lagi. Dan berkonsentrasi melenyapkan meriang dan sakit kepalaku ini. Sakitku tidak main-main. Aku tidak ingin sakitku ini sampai seminggu lebih. Obat yang kubawa telah kuminum habis. Namun obat malam ini belum kuminum. Cuaca hari ini tak pasti. Angin membunuh. Matahari murka. Hujan di larang turun. Sedikit turun langsung di cambuk oleh matahari. Ia pun lenyap seketika itu juga.

Sepuluh menit lagi seharusnya sampai tujuan, bila bis tak berhenti untuk mengisi bensin.
Aku yakin di kamarku saat ini telah tersedia secangkir wedang jahe yang tak lagi panas. Dan potongan-potongan kecil kencur yang siap kukunyah mentah-mentah.
Aku terlambat lagi pulang ke rumah. Ibu pasti telah menyiapkan obat untukku. Dia yang paling khawatir dengan kondisiku. Tadi ia menyuruhku untuk lekas pulang. Kukatakan padanya : sebentar lagi aku pulang. Tentu ia mengira aku lembur lagi. Namun sebenarnya aku hanya ingin merasakan keanehan malam ini saja. Sebuah malam tanpa nyawa. Malam tanpa dirimu. Malam yang mati.
Sudahlah.... Sudah bosan aku memikirkannya. Sampai jumpa lagi. Itupun kalau kau hidup sekali lagi. Saat ini, bila kita bersua di dunia nyata ataupun maya, tak ada lagi mesra canda seperti dulu. Lupakan saja. Terlalu sulit untuk melukismu. Kuasku tak pernah benar-benar sampai kepada kanvasmu. Karena kau tak pernah memberikan kanvas yang sebenarnya kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa tahu cara melukis di atas kanvasmu yang masih terbungkus karton itu. Kau tak pernah membukanya. Dan cat minyak warna merah yang membasahi bulu-bulu kuasku harus mengering percuma karena terlalu lama menanti dirimu yang tak bisa di dekati. Harus kubuang atau terus kugenggamkah benda ini?. Aku ingin tahu jawabannya darimu yang telah mati. Karena itu tiap malam aku terus menantikan sinyal S.O.S darimu sebagai pertanda engkau masih hidup. Semoga surat ini bisa segera sampai ke tanganmu.

No comments: