Tuesday, January 30, 2007

Bayi (Part 2)

Aku terus bertanya pada diri. Sebenarnya apa yang tengah terjadi padanya. Ia menjawab kalau kini ia tengah di kepung oleh sekelompok bandit. Tiap-tiap bandit itu menodongkan pedangnya yang memiliki warna gagang berbeda dengan yang lainnya. Tiap-tiap ujung pedangnya berada setengah milimeter dari leherku. Aku dapat merasakan kilau tajam pedang-pedang tersebut. Walau ada beberapa yang ku rasa tumpul, bahkan tak bermata sama sekali. Aku dan ia tengah berdiri tegak bagai patung batu yang tak bergerak. Sedikit saja kami bergerak, maka kami akan tertusuk. Sungguh mengerikan. Padahal aku bukanlah siapa-siapa. Baru belajar berdiri di atas bumi ini. Berjalan pun pincang. Lain halnya dengan ia. Ia yang hidup berhias gelimang kehormatan. Ideologi.
Sebuah harta yang tak ternilai. Sebuah gerak pemikiran yang egosentris. Sebuah kehormatan. Yakni harga diri. Menjualnya berarti pelacur. Mengabaikannya berarti terasing. Melupakannya berarti pendusta. Kapal di belakangmu telah kau bakar habis. Di hadapanmu ada sejuta prajurit bersenjata tengah menanti tuk menghabisimu. Mundur berarti mati dalam kehina dinaan dan kesia-siaan. Maju berarti mati terhormat dan penuh makna. Hidup berarti keagungan. Logika telah mati berjalan. Berapa persentase kemampuanmu tuk bernafas?.
Hanya 30% atau 40% saja. Bahkan aku yakin kurang dari itu.

Kacau. Benar-benar kacau.

Haruskah menjadi seorang pelacur atau pendusta?. Jawablah. Aku ingin menjadi keduanya. Bukan karena aku ingin. Tapi aku terlalu takut. Lebih baik hidup lebih lama semenit daripada mati kemarin sore. Itu kah jalanmu?. Jalan setapak yang kaumiliki?. Kau tiba-tiba berbelok di tengah jalan?. Tapi aku tak dapat mencacimu. Karena kau pun sedang maju. Hanya saja jalan kita berbeda. Aku tak tahu. Sampai kapan aku berjalan di jalan ini. Kerikil-kerikil tajam ini terlalu menyakitkan untuk telapak kakiku yang halus. Lalu apa harapanmu setelah mati?. Kau ingin semua orang mengingat akan perjuanganmu?. Jasa-jasamu mungkin?. Gagahnya dirimu mungkin?.Rupawan wajahmu mungkin?. Kau sudah tak bisa kembali lagi.
Penyesalanmu ada di ujung sana. Bergandengan dengan tepuk tangan dan riuh hampa bandit-bandit tersebut. Setelah itu tak ada yang peduli lagi denganmu. Pada akhirnya, kau pun bergelimang kesia-siaan pula. Kenihilan. Lenyap. Di telan cerita.
Tak membanggakan lagi. Kau si angin lalu. lebih baik menanggung malu. Daripada lidah harus kelu. Akhirnya pun mati bisu. Di telan waktu. Lalu menjadi kisah anak kemarin waktu
Oh. Aku ingat. Salah seorang bandit itu pun kini menjadi pelacur. Kenapa aku tidak mengikutinya juga ya?. Tidak. Kau bingung. Apa yang harus kau lakukan?. Lekas tanyakan padanya. Kalau kau bukan dirinya. Begitu juga dirinya bukan dirimu. Aku ingin pergi. Jauh sekali. Aku ingin pergi. Sangat jauh. Aku ingin pergi. Begitu jauh. Aku tak ingin dekati ia. Ia yang membawaku ke jurang negasi identitas.

No comments: