Tuesday, January 30, 2007

Bayi

Menjadi debu di atas batu, aku berjalan dengan kedua kaki tanpa alas. Dengan kedua mata sebagai penuntun. Dengan telinga sebagai pemberi informasi. Dengan tangan sebagai penindak. Dan hati sebagai pemandu. Aku tegar.
Jejak-jejak di sebuah gurun adalah kakiku. Jalan setapak di sebuah gang adalah mataku. Ranting-ranting kecil adalah tanganku.
Dan dedaunan yang jatuh seminggu yang lalu itu adalah hatiku. Ya. Yang mana?. Itu. Yang tergolek di tengah jalan raya.

Kemarin aku berdiri dengan entitas berupa kertas yang hangus terbakar. Hari ini aku menjadi asapnya yang membubung di langit-langit sebuah rumah. Esoknya mungkin aku akan menghilang dengan sendirinya. Mungkin aku sebuah tembakau pada awalnya. Yang di bakar bersama selembar kertas tergulung. Lalu menjadi asapnya yang kian lama menghilang lima atau sepuluh senti di atas kepala. Dimana sebelumnya terselip di sela basah bibir seseorang yang menghisap dan menghembuskannya berkali-kali. Lalu entitasku berubah menjadi sebatang kembang api kering. Yang di nyalakan dengan api. Lalu terbakar indah dan mati. Tiba-tiba pula entitasku berubah menjadi air yang tumpah. Lalu menggenang dan merembes melalui kapiler-kapiler karpet. Dan lenyap. Sedikit berbau.

Aku sempat terbakar. Aku sempat memercik. Aku dinyalakan. Aku tersentuh. Tapi bukan aku yang membakar. Dan bukan aku pula yang menyentuh.
Lalu siapa?. Tak tahu. Aku tak tahu. Aku sungguh tak tahu. Tidak. Kau tahu. Aku tahu. Itu dia. Dan mereka. Dan Kamu. Dan teman-temanmu mungkin. Dan adik-adikmu juga. Dan...dan..dan... Jancuk!. Kamu siapa sebenarnya?. Aku tersiksa. Aku tergilas. Aku tergerus. Aku terlecehkan. Aku terlacurkan. Aku teranjingkan. Aku terbudakkan. Aku tergilakan. Aku tertertenakkan. Aku terhimpit. Aku...aku...aku...

Sayang....

Aku terhormatkan. Aku merasa terhormatkan. Tahukah kau?. Aku tak rela menjadi seekor anjing kudis dengan seluruh kutu di tubuhnya. Aku lebih rela menjadi seekor anjing ras yang tengah menjilati kaki tuannya. Aku ingin bulu yang indah. Tersisir rapi dan wangi. Aku tak terpuaskan oleh diriku.
Tapi aku terbahagiakan oleh dirimu. Atau lebih tepatnya menjadi dirimu. Aku dirimu dan aku. Tolong. Berikan aku sebuah nama. Dan pakaikan aku sebuah kalung yang cantik.
Tambatkan taliku di manapun kau suka. Kini aku wangi, sayang. Kulihat dedaunan yang telah menguning di hadapanku. Tengah terbawa angin yang berhembus pelan. Terus terbawa.
Pelan. Pelan sekali. Seakan menari mengikuti angin. Cantik. Nampak cantik. Sempat menerpa wajahku sejenak sebelum akhirnya hancur di bawah hujaman langkah sepatu pantofel seseorang.
Aku tertawa terbahak-bahak. Menertawakan diriku dan permainannya. Sungguh mati aku tertawa terbahak-bahak sampai perutku sakit. Ku ucap lirih di dada. Aku merdeka.
Ku ucap lantang di dunia. Aku merdeka.

No comments: