Terdengar derap langkah gontai dalam sayup desir zaman
berbondong-bondong ternak tengah baris berbaris rapi bagai prajurit siap menyambut mati
di medan senja bertebar bunga dengan ujung penuh muntah
tali-tali yang di ikat pada leher dan ekor mereka sebagai sebuah realita nyata
korban kekaisaran zaman di atas awan yang telah lama di mulai
bermacam warna jeritan terdengar dari mulut mereka yang bisu
sambil menatap pada aspal panas pelepuh kaki-kaki tak berdaya
beserta langkah yang retak di makan detak jam
yang hancur berkeping bersamaan wajah-wajah mereka
sebagai jiwa-jiwa terlontar
Aku teringat pada Tole yang bercerita tentang rupa
yang berkisah tentang ratusan camar beterbangan di angkasa bagai anai-anai
dan kura-kura belian sebagai induk semang yang bernaung di dalam lingkaran tak berjiwa
dimana camar-camar yang berimigrasi di tempat kini tengah berceloteh
kasihan si Tole yang tak paham apa yang sedang mereka celotehkan
di karenakan oleh samarnya sebuah bahasa yang mengalun lantang
yang di tatapnya hanya mereka yang kian lama jumlahnya kian bertambah banyak
hingga ia menepi ke tepi yang paling tepi
menyepi ke tempat yang paling sepi
menjauh ke sebuah tempat yang paling jauh
dan bergumam puas dengan hanya menjadi sebatang pohon bambu di ladang
Sebagai jasad yang tunggal
Katakanlah, Tole...
katakan...
kau jiwa manunggal yang tersisa
coba kau tengoklah sebentar
pada kaisar beserta kasim-kasim yang mengelilinginya
kala sedang berpesta di sebuah meja besar
dalam sebuah tempurung sunyi bernama tuli
lalu berkilah tentang adanya peradaban
mereka yang meyakini langit t'lah pekak
sebagai saksi bisu abadi yang tengah hidup dalam waktu
bibir-bibir kering yang mengatup rapat seolah terkunci
mata-mata yang membelalak menatap ingkar
ternyata hanya menjadi sebuah cerita semu yang klise
memang telah terjerembab begitu dalam wajah-wajah ini karena ulah permainan mereka
hingga harus kehilangan sebongkah permata yang berharga
yakni sepasang mata
sepasang telinga
sepasang tangan
sepasang kaki
dan rupa
No comments:
Post a Comment