Ada dua jalan kecil yang terbentang di depan kita. Aku ingin berjalan melalui sebelah kiri saja. Dan kau pun sebaliknya. Mungkin kedua jalan ini akan bermuara di suatu tempat yang sama. Aku memerlukan sebuah sampan untuk menempuh jalanku. Dan kau memerlukan sebilah pisau komando untuk membantumu berjalan di tengah semak belukar. Aku menemukan sampan di tepi sungai beserta dayungnya. Entah milik siapa. Aku curi saja.
Kau sibuk membuka jalanmu dengan sabetan pisau di tanganmu. Kelihatannya kau menikmatinya dan sudah terbiasa. Aku tahu. Kau sudah berpuluh tahun bergelut di daerah ini. Kau sudah mengenal betul setiap jengkalnya. Aku baru saja menginjakkan kaki ku kemarin. Tapi arus sungai ini sedikit deras. Aku takut lengah dan terseret. Kurasakan, ini bukanlah suatu yang berat. Tidak juga ringan. Sekitar 180 meter ke tepian. Dan aku tak tahu bilamana bahaya yang muncul ketika aku berada di tengah-tengah nanti.
Tatkala air di sungai kusibakkan dengan dayungku pada kedua kalinya, aku masih bisa menatap bayanganmu yang tengah menghilang dalam belantara belukar. Kecipak kecil air yang kuciptakan bersama dayung ini seakan memecah keheningan waktu itu. Dan aku pun masih mendengar sayup suara sabetan pisaumu menebas ranting-ranting dan dedaunan di depanmu. Kabut mulai datang. Membatasi jarak pandang di antara kita. Kita mulai terpisah. Berjalan sendiri.
Sungai ini sejujurnya terlalu luas untuk kuarungi sendiri. Kupikir setidaknya aku dan kau berada di dalam satu sampan yang sama. Sehingga kita bisa terus bercakap. Di terpa angin tipis. Menggigil dalam tebalnya kabut. Mengayuh dayung bersama. Dan mengalami rasa takut yang sama. Mungkin hanya gelak tawa yang terlontar dari mulut kita berdua. Ketololan demi ketololan yang tak berangsur sirna. Bercakap tanpa makna. Terkadang melintas saja. Tak berhenti di kepala masing-masing.
Tapi aku tahu. Setiap kali bepergian kau selalu menyimpan sesuatu di sakumu. Sekantong racun. Aku tak tahu apa yang akan kau perbuat dengan itu. Bila ingin membunuhku, sebenarnya kau pun sudah membunuh diriku. Kau hujam diriku dengan pisaumu. Dua belas tusukan atau tiga belas mungkin kurang. Kau robek dadaku dan kau ambil jantungku. Bagaimana rasanya kau kunyah jantungku yang merah itu? Pandanganku mengabur. Aku tak dapat melihat sekitarku dengan jelas. Di tambah kabut sial ini. Membuat segalanya menjadi semakin tak jelas. Aku kehilangan kompas sebelum kita temui persimpangan jalan tadi. Karena itu aku tak tahu harus kemana. Tapi sekilas aku melihat cahaya di tepian sungai. Aku tak tahu. Apakah itu kompasku. Atau pisau komandomu.
Monday, February 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment