Satu kisah tentang kelelawar yang ingin terbang jauh di bawah terik matahari. Yang tak ingin lagi terikat oleh malam. Baginya pagi adalah anugerah. Siang penuh berkah. Dan sore menjadi sebuah kisah.
Untuk pertama kalinya ia melihat awan yang menggumpal bagai kapas. Bayangan dirinya di permukaan air laut yang jernih. Kawanan burung yang tengah terbang bersama. Dan birunya langit terbentang. Untuk pertama kalinya pula ia melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Ia terbang dengan kecepatan tinggi. Derasnya angin yang menerpa wajah tak membuat ia mengurangi kecepatan terbangnya sedikit pun.
Ketika ia melewati hutan belantara, di lihatnya sekelompok kera tengah berayun-ayun di akar gantung pohon-pohon raksasa. Si kelelawar bertengger sejenak di salah satu dahan pohon sambil memperhatikan mereka. Dunia begitu luas pikirnya. Namun ketika ia berusaha menyelami sekelompok kera-kera yang tengah bermain itu, ia tak lagi bergumam dunia itu luas, namun sebaliknya. Berjam-jam ia bertengger di sana. Lalu ia memutuskan tuk melanjutkan perjalanannya membelah belantara hutan. Beribu kilometer telah ia lalui, namun ia tak pernah temui akhir dari perjalanan yang membentang ini. Ia merasa bosan. Ia memutuskan untuk merobek luasnya samudera. Ini luar biasa, pikirnya. Di temuinya samudera yang tak pernah berakhir. Sesekali ia menyelam sejenak untuk melihat sekelompok makhluk yang
bernaung di dalamnya. Ia bergumam kembali, "kasihan mereka yang hidup di dunia yang sesempit ini". Dunia ini begitu ciut pikirnya. Serasa menghimpit dirinya. Hingga tulang-tulangnya remuk. Membuatnya luluh lantah. Ia pun muntah. Air matanya mengalir di pipinya.
Ia memekik. memekik. terus memekik. Ia tak bisa menerima keberadaan dirinya di dunia ini. Ingin lenyap. Aib bagi dunia ini. Aib juga baginya. Aku salah tempat. Aku bernaung bukan di sebuah dunia. Aku terlalu ngeri untuk mengatakannya. Di sekitarku tak terlihat satu makhluk pun. Aku sendirian. Langit yang membisu dan dunia yang berkelakar. Tolong. Selamatkan aku. Aku aib. Semuanya tiba-tiba menghilang dari kepalaku. Dadaku bergemuruh. Aku ingin ke luar angkasa. Batinku tersiksa. Waktu yang memaksa tubuhku untuk terus berlari. Tapi aku ingin berhenti. Menghirup teh dan sedikit cemilan di atas sebuah batu. Bersama sahabat-sahabat yang menghilang ribuan tahun yang lalu. Aku ingin kopi cokelat. Bukan kopi pekat. Kelelawar itu terus menangis meraung-raung. Batinnya juga tersiksa.
Bergelut dengan dirinya sendiri. Deritanya tak menjadi bahagia. Bahagianya tak menjadi derita. Suka citanya tak menjadi cita. Duka citanya tidak pula menjadi duka. Berhenti.
Itu sekotak mainan yang telah berdebu dan tenggelam oleh air mata mereka sendiri. Dan pernah kau torehkan dirimu di tubuh-tubuh mereka. Kelelawar terus memekikkan namanya sendiri tiada henti. Lalu bercerita tentang bumi yang berputar pada porosnya. Berevolusi pada
matahari. Bumi yang bulat. Bumi yang menghampar. Bumi yang tegak. Manuskrip-manuskrip yang bertebaran di tiup angin. Lenyap di telan matahari dan panasnya. Putera mahkota. Dirimu tak di hargai sedikit pun. Tak lebihnya seonggok kotoran di tepi jalan. Dirimu tidak eksis.
Generasiku. generasiku. Yang akan mengambil alih kekuasaan. Yaitu generasiku. Aku ada. eksis. matamu buta. awan yang menggumpal menutupi pandangmu dari matahari yang panas dan bercahaya. Keledai tua yang sebentar lagi tulang belulangnya berserakan. Sebaiknya menjadi penonton saja. Kisah cerita dunia ini. Hingar bingarnya.
Aku pangeran. pedang yang terhunus di tangan kananku. Ujungnya yang tumpul nanti akan kuasah. Hingga tajam berkilau. Untuk menusuk tubuhmu. Mematahkan tulang-tulang tuamu. Oh engkau yang malang. Pagi mu, Siang mu, dan soremu hanya menjadi sebuah kisah saja. Kelelawar malam. Sebaiknya kau kembali saja pada malammu. Aku memujimu.
Sunday, February 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment