Wednesday, February 28, 2007

Pemakan Jantung

Terlihat kerumunan manusia berkumpul di tengah lapangan di mana di sekitarnya berdiri tegap gedung-gedung pencakar langit. Kerumunan tersebut begitu padat membentuk lingkaran. mereka tengah menyaksikan sesuatu. Baik tua maupun muda berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, saling sikut, dan saling jinjit hanya untuk melihat yang tengah terjadi di sore itu. Anak-anak kecil dengan gesitnya menembus kerumunan tersebut melalui sela-sela kaki dan pinggang orang-orang dewasa hingga bukan mustahil pada akhirnya para anak kecil ini menjadi berdiri yang paling depan. Suatu pemandangan yang langka terjadi di metropolitan. Tidak sedikit pula kendaraan-kendaraan bermotor yang menepi sekedar melihat dari jauh apa yang tengah terjadi atau berhenti dan turun langsung untuk melihat di tengah lapangan tersebut. Pepohonan yang ada di sekitar pun harus rela dahan-dahannya di penuhi manusia. Begitu juga halnya dengan tiang-tiang listrik. Langit semakin merah. Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Pemandangan yang terjadi saat itu begitu mengesankan bagi semua orang yang melihatnya.

Seorang bocah tengah mengoyak jantungnya sendiri dengan taring-taring tajam miliknya. Darah segar memuncrat saat gigitan pertamanya merobek merahnya nyawa kehidupannya sendiri. Percikan-percikan darah dari seonggok daging tersebut menghiasi sekitar mulutnya. Amis bukan kepalang baunya. Tapi bukan soal baginya. Orang-orang melihatnya seperti sebuah ritual khusus yang di lakukan bocah tersebut. Mereka mulai menggunjing. Menganggap bocah tersebut tidak lagi waras atau gila. Sedikit lagi seonggok daging yang ada di genggaman bocah tersebut habis di lahapnya. Sesekali dia tersedak saat menelannya karena terburu-buru. Ia sama sekali tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Secara tak sadar ia telah menjadikan dirinya menjadi sebuah tontonan yang menarik. Lebih menarik dari atraksi debus yang begitu-begitu saja. Ini spektakuler!.

Tak sedikit dari mereka yang muntah di tempat lalu segera beranjak pergi. Kerumunan bukannya semakin sedikit tapi malah semakin banyak. Seakan mengalir tanpa henti bagai air yang mengalir. Ada yang setia dari Ashar tadi menyaksikan yang di lakukan bocah tersebut. Ada pula yang datang sekedar untuk melihat apa yang terjadi lalu pergi lagi. Datang pula pemuka-pemuka agama setempat untuk melihat apa yang terjadi. Mereka haya bisa mengurut dada dan terus beristighfar. Tak ada yang berani untuk menghentikannya.
Sungguh aneh. Onggokan daging di tangan bocah tersebut itu apa benar jantungnya?. Sudah hampir tiga jam dia mengunyahnya tanpa henti. Tapi dada sebelah kirinya berlubang. Darah pekat terus-terusan mengalir tanpa henti. Bocah itu tak juga lemas. Di sebelah kakinya tergolek sebilah pisau dapur penuh darah. Nampaknya dengan pisau itulah ia menyayat dadanya lalu mengambil jantungnya sendiri. Semakin aneh. Jantung tersebut walaupun terlepas dari jasad si bocah tersebut namun tetap berdegup tanpa henti. Mengapa ia tidak mati?. Malahan bocah itu memakannya seperti kesetanan. Memakan sesuatu yang tak ada habis-habisnya. Lihatlah ia!. Makan dengan lahap di iringi adzan Maghrib yang tengah berkumandang.

Langit semakin gelap. Kerumunan semakin padat. Bahkan jalanan sudah menjadi tempat parkir bagi kendaraan bermotor. Semua orang turun ke jalan untuk menyaksikan kejadian di tanah lapang tersebut. Polisi pun sudah berdatangan sejak tadi. Namun sama seperti para pemuka agama tadi. Mereka hanya bisa menatapnya. Mereka tak dapat menghentikannya. Bukan karena mereka tak mau. Tapi tubuh mereka seakan beku tak dapat bergerak sedikitpun di dekatnya. Para wartawan pun mulai berdatangan meliput bocah yang masih asyik dengan santapannya itu. Malam itu siaran televisi di seluruh penjuru negeri menjadi sebuah liputan khusus atraksi bocah pemakan jantungnya sendiri. Suatu peristiwa abad ini!.

Apa sebenarnya yang ada di kepalanya?. Kejadian apakah yang baru saja menimpanya?. Apakah ia sedang kerasukan?. Tak henti-hentinya pertanyaan demi pertanyaan tersebut mengalir deras di kerumunan penonton. Namun mereka hanya bisa mengangkat bahu. Lalu beberapa menit kemudian pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang lagi. Dan lagi-lagi mereka semuanya hanya bisa mengangkat bahunya masing-masing. Mengapa tidak ada yang mau mendekat?. Mengapa tidak ada yang mau menyelamatkannya?. Apa yang terjadi bila ia menghabiskan jantungnya?. Apakah ia akan benar-benar mati?. Ataukah ia masih hidup dan mengeluarkan isi tubuhnya yang lain?. Paru-parunya misalnya?. Mereka yang melihatnya sama sekali tidak mengerti. Jantung yang tinggal seperempat itu, apakah masih berfungsi apabila di letakkan kembali ke tempat asalnya?.
"Lakukan! Lakukan!". Bocah tersebut menatap tajam ke sekelilingnya. Ia memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama dengan dirinya. "Lakukan! Lakukan!", suaranya lantang. Ia membelalakkan matanya, seakan mau keluar. Tangannya yang berlumur darah menunjuk ke arah orang-orang di sekitarnya. "Lakukan! Lakukan!". Mereka yang berdiri di dekat bocah tersebut mulai sedikit ngeri dan mundur perlahan. "Cepat lakukan!". Mereka yang menonton hanya terbengong-bengong. Tak tahu mengapa ia menyuruh mereka melakukan hal yang sama dengannya. Bocah itu berdiri perlahan, jantungnya belum habis di lahapnya. "Lakukan!". Sekali lagi ia menyuruh mereka untuk berbuat seperti dirinya.

Mereka yang menonton mulai ketakutan. tak terkecuali para polisi, wartawan, dan pemuka agama. Mereka mundur perlahan-lahan. Setiap kali bocah tersebut berteriak, pasti dari mulutnya memercikkan darah. "Lakukan! Cepat!".
Saat itu, ada seorang pria setengah baya keluar dari kerumunan dan mendekat ke arah bocah tersebut. Ia berjalan perlahan ke arahnya. Sedikit takut dan ragu-ragu. Tubuhnya sedikit gemetar. Bocah tersebut nampak senang melihatnya. Lalu ia meraih pisau yang tergolek di tanah dan memberikannya pada salah pria tersebut. "Ini! Ambillah!".
Tangan pria itu meraih pisau yang di berikan oleh si bocah. Setelah pisau ada di genggamannya, tak di sangka ia melakukan hal yang sama seperti yang di lakukan bocah itu. Ia menusuk dadanya sendiri. Menyayat-nyayat. Lalu merobeknya hingga membuat lubang yang ternganga di dada kirinya. Ia menjerit keras. Penonton seakan tak percaya pria setengah baya tersebut akan melakukan hal gila tersebut.

Lalu dari lubang di dada kiri pria tersebut nampak sebuah daging yang gemuk dan merah. Daging tersebut berdegup. Itu jantungnya.
Lalu ia segera meraih jantungnya dengan tangan kanannya. Dan menariknya kencang-kencang hingga terlepas. Di makannya jantung tersebut. Sama seperti bocah itu. Pria setengah baya tersebut mengikuti apa yang di perintahkan oleh bocah itu. Ia makan dengan lahap. Mulutnya berlumur darah. Ia mengoyaknya tanpa henti. Ia tampak menikmatinya. Memakannya sambil duduk bersila di temani bocah itu.
Mereka yang menonton terheran-heran. Apakah seenak itu jantung kita?. Tak lama kemudian salah seorang lagi mendekati kedua pemakan jantung tersebut dan melakukan hal yang sama seperti mereka. Satu persatu dari mereka pun turut mencobanya. Seorang. Dua orang. Tiga orang. Empat orang. Dan seterusnya. Ada sekitar dua ratus ribu manusia yang mengelilingi mereka. Sedikit demi sedikit mereka tidak lagi menjadi penonton penyantap jantung sendiri itu. Melainkan mereka pun turut mencobanya. Tak terkecuali pula para polisi, wartawan, pemuka-pemuka agama, bahkan anak-anak kecil. Nikmat sekali. Di bawah terang bulan purnama sambil menyantap jantung sendiri. Suatu pengalaman yang tak akan terlupakan. Bersama dua ratus ribu orang di sini. Menggelar pesta rakyat dadakan. Mungkin mereka yang di rumah masing-masing pun kini tengah mencobanya. Menu makan malam hari bersama keluarga adalah jantung sendiri. Bagaimana kalau di goreng?. Di panggang mungkin?. Apakah akan sama enaknya dengan memakan mentah?. Semua harus mencobanya. Seluruh manusia di dunia harus mencobanya.

No comments: